Jumat, 07 Oktober 2016

MAKALAH FIQH MUAMALAH ‘ARIYAH


By on 05.27


MAKALAH FIQH MUAMALAH
ARIYAH


Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu: Waluyo, Lc., M.A.

Disusun Oleh:
Asep Priyanto           (145131002)
Muhammad Reza     (145131004)
Riski Fauzi                (145131005)
Fajar Rhomadhona   (145131030)


JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam ekonomi islam terdapat akad-akad yang mendasari suatu perbuatan bermuamalah, akad-akad tersebut berguna untuk menghindari suatu amalan yang dilarang dalam islam seperti maysir, gharar, riba, dan lain-lain. Dimana perbuatan yang dilarang tersebut mengandung dampak negatif bagi manusia yakni mendzalimi sesama manusia serta mendapatkan balasan adzab dari Allah SWT.
            Baik di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis sudah dijelaskan secara gamblang larangan melakukan perbuatan yang dilakukan dalam bermuamalah dan pelakunya mendapatkan siksaan yang pedih dari Allah SWT.  Allah SWT berfirman dalam (Q.S. An-Nisa: 161) yang artinya: “Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
            Beranjak dari hal tersebut maka muncullah akad-akad baik yang berasal dari Rasulullah maupun ijma’ para ulama untuk mengatasi hal yang dilarang oleh agama islam. Dimana akad-akad tersebut bertujuan untuk kemaslahatan umat, saling menolong dan yang paling penting adalah menghindari larangan yang ditetapkan oleh Allah SWT.
            Tolong-menolong dalam bermuamalah salah satunya diwujudkan dengan akad ‘Ariyah atau pinjam-meminjam. Dengan adanya akad ‘Ariyah, masyarakat yang memerlukan bantuan dapat meminjam pada yang memiliki barang dengan tanpa imbalan apapun dan yang meminjam berkewajiban menjaga merawat dan mengembalikan barang yang dipinjam harus dalam keadaan pada awal meminjam baeang tersebut.‘Ariyahberbeda dengan hutang karena ‘Ariyahmerupakan meminjam barang pada orang lain, dan barang yang dipinjam itulah yang harus dikembalikan dan tidak boleh digantikan dengan barang yang lain.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian‘Ariyah
‘Ariyah secara kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah menjadi satu istilah teknis dalam ilmu fikih untuk menyebutkan perbuatan pinjam meminjam, sebagai salah satu aktivitas antar manusia. Dalam pelaksanaannya , ‘ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang memerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. Oleh sebab itu, para ulama biasanya mendefinisikan ‘ariyah itu sebagai pembolehan oleh seseorang untuk dimanfaatkan harta miliknya oleh orang lain tanpa diharuskan memberi imbalan.[1]
‘ariyah merupakan transaksi muamalah yang murni tanpa adanya unsur komersial. Hukum asal ‘ariyah adalah dianjurkan karena transaksi tersebut saling menguntungkan kedua belah pihak. Di dalam Al-Qur’an surat al-maidah ayat 2 Allah SWT berfirman:
¢(#qçRur$yès?urn?tãÎhŽÉ9ø9$#3uqø)­G9$#ur(Ÿwur(#qçRur$yès?n?tãÉOøOM}$#Èbºurôãèø9$#ur4
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
B.     Dasar hukum ‘ariyah
Menurut kebiasaan (urf), ‘ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majaz
a.       Secara hakikat
‘ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut malikiyah dan hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semakna dengan manfaat menurut kebiasaaan.
Al-kurkhi, ulama syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pandangan diatas, dapat ditetapkan menurut golongan pertama, barang yang dipinjam (musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang lain, bahkan menurut imam malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan sesuai dengan fungsinya. Akantetapi, ulama malikiyah melarangnya jika peminjam tidak mengizinkannya.[2]

b.      Secara majazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.[3]
C.    Rukun dan syarat‘Ariyah

1.      Rukun ariyah
Ulama hanfiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjam barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama syaifiiyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz sighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu tra
nsaksi sebab memnafaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada 4, yaitu :
1.      Mu’ir (peminjam)
2.      Musta’ir (yang meminjamkan)
3.      Mu’ar (barang yang dipinjam)
4.      Sighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

2.      Syarat ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
1.      Mu’ir berakal sehat,
dengan demikian, orang gila, dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjam barang. Ulama hanafiyah tidak menyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut)
2.      Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegan barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah
3.      Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang, dan lain-lain.
Diharamkan meminjam senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan meminjamkan al-qur’an atau yang berkaitan dengan al-qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram.
Berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran transaksi ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1.      Harta yang dipinjamkan harus berada dalam kekuasaan si pemilik, dengan kata lain jika harta yang dipinjamkan bukan miliknya sendiri maka gugurlah transaksi tersebut.
2.      Obyek yang dipinjam harus memiliki manfaat, baik berbentuk materi ataupun tidak.
3.      Pemanfaatan harta yang dipinjam harus dimanfaatkan sesuai syariat, dengan kata lain jika harta yang dipinjam dipinjam digunakan untuk melanggar syariat maka tidak diperbolehkan.
Apakah Shighat yang dipakai dalam transaksi pinjam-meminjam? Dalam hal ini agama tidak memberikan ketentuan khusus tentang bagaimana dan apa lafaz yang harus dipakai . ini berarti pihak peminjam dan yang meminjamkan boleh memakai lafaz apa saja, asalkan menggambarkan adanya transaksi pinjm-meminjam. Hal ini diserahkan kepada adat dan kebiasaan yang berlaku, asalkan pelaksanaannya menunjukan adanya akad pinjam meminjam yang berlangsung dengan penuh kerelaan.
Kegiatan ‘ariyah, seperti yang pernah disinggung diatas, bukanlah pemindahan hak milik, tetapi hanya keizinan memanfaatkan barang pinjaman kepada pihak peminjam untuk sementara waktu.  Disini terkandung suatu maksud bahwa bila pihak peminjam telah mendapatkan manfaat dari harta yang dipinjamnya, atau telah sampai jangka  waktu peminjaman yang ditentukan ketika akad, maka ia berkewajiban mengembalikan barang yang dipinjamnya kepada pemiliknya.  Tidak ada alasan bagi pihak peminjam untuk menunda-nunda waktu pengembaliannya. Dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan tirmidzi disebutkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “ barang yang dipinjam harus dikembalikan. Bila seoarang yang  mengembalikan pinjamannya, atau menunda waktu pemulangannya, berarti ia telah berbuat khianat serta maksiat kepada pihak penlong.
Kenapa dikatakan demikian? Sebab perbuatan yang seperti itu bertentangan dengan ajaran Allah yang mewajibkan seseorang yang menunaikan amanah serta dilarang berbuat khianat. Seperti diterangkan dalam surat an-Nisa ayat 58.
*¨bÎ)©!$#öNä.ããBù'tƒbr&(#rŠxsè?ÏM»uZ»tBF{$##n<Î)$ygÎ=÷dr&#sŒÎ)urOçFôJs3ymtû÷üt/Ĩ$¨Z9$#br&(#qßJä3øtrBÉAôyèø9$$Î/4¨bÎ)©!$#$­KÏèÏR/ä3ÝàÏètƒÿ¾ÏmÎ/3¨bÎ)©!$#tb%x.$JèÏÿxœ#ZŽÅÁt/ÇÎÑÈ
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Menurut agama, pihak peminjam tidak hanya sekedar wajib mengembalikan pinjamannya apa adanya, tetapi juga wajib memelihara barang pinjaman selama dalam tanggungannya. Dalam suatu  riwayat Rasulullah SAW bersabda: “ pemegang berkewajiban memelihara apa yang sudah ia terima sampai benda itu dipulangkan kepada pemiliknya”
D.    Pendapat Para Ulama Tentang Status Barang Pinjaman dalam ‘Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai ataupun tidak.
Ulama malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada padanya, yakni yang dapat disembunyikan, seperti baju. Dia tidak harus menanggung sesuatu yang ridak dapat disembunyikan seperti hewan atau barang yang jelas dalam kerusakannya.
Menurut kalangan Syafi’yah peminjam menaggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan iziin yang siberikan pemilik walaupun tidak sengaja. Menurut ulama Hanabilah behwa peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak. Sementara ulama Hambaliyah menyatakan. Jika barang yang dipinjam adalah benda-benda wakaf, kemudian rusak tanpa disengaja maka ia tidak harus menanggung kerusakannya, sebab tujuan peminjaman barang itu ditujukan untuk kemaslatan umum.

E.     Perbedaan hutang dengan pinjaman
1.      Hutang dari aspek pengembaliannya harus mengembalikan sesuai jumlah yang sama, sementara pinjaman pengembaliannya sesuai dengan kondisi barang awal yang dipinjamkan
2.      Hutang berarti mengambil manfaat dan zat dari barang yang dihutang, sementara pinjaman hanya mengambil manfaat dari barang yang dipinjam.







KESIMPULAN
‘Ariyah secara kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah menjadi satu istilah teknis dalam ilmu fikih untuk menyebutkan perbuatan pinjam meminjam, sebagai salah satu aktivitas antar manusia. Dalam pelaksanaannya , ‘ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang memerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. Dalam kegiatannnya ariyah memiliki sayarat dan rukun tertentu untuk dipenuhi agar sah akadnya. Berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran transaksi ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1.      Harta yang dipinjamkan harus berada dalam kekuasaan si pemilik, dengan kata lain jika harta yang dipinjamkan bukan miliknya sendiri maka gugurlah transaksi tersebut.
2.      Obyek yang dipinjam harus memiliki manfaat, baik berbentuk materi ataupun tidak.
3.      Pemanfaatan harta yang dipinjam harus dimanfaatkan sesuai syariat, dengan kata lain jika harta yang dipinjam dipinjam digunakan untuk melanggar syariat maka tidak diperbolehkan.
 Perbedaan hutang dengan pinjaman
1.      Hutang dari aspek pengembaliannya harus mengembalikan sesuai jumlah yang sama, sementara pinjaman pengembaliannya sesuai dengan kondisi barang awal yang dipinjamkan
2.      Hutang berarti mengambil manfaat dan zat dari barang yang dihutang, sementara pinjaman hanya mengambil manfaat dari barang yang dipinjam.

















DAFTAR PUSTAKA
*helmi karim, fiqh muamalah, jakarta, raja grafindo persada, 2002,



[1]37

About Syed Faizan Ali

Faizan is a 17 year old young guy who is blessed with the art of Blogging,He love to Blog day in and day out,He is a Website Designer and a Certified Graphics Designer.

0 komentar:

Posting Komentar