MAKALAH
FIQH MUAMALAH
‘ARIYAH
Makalah ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu:
Waluyo, Lc., M.A.
Disusun Oleh:
Asep Priyanto (145131002)
Muhammad Reza (145131004)
Riski Fauzi (145131005)
Fajar Rhomadhona (145131030)
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam ekonomi islam terdapat akad-akad yang mendasari suatu
perbuatan bermuamalah, akad-akad tersebut berguna untuk menghindari suatu
amalan yang dilarang dalam islam seperti maysir, gharar, riba, dan
lain-lain. Dimana perbuatan yang dilarang tersebut mengandung dampak negatif
bagi manusia yakni mendzalimi sesama manusia serta mendapatkan balasan adzab
dari Allah SWT.
Baik di dalam
Al-Qur’an maupun Al-Hadis sudah dijelaskan secara gamblang larangan melakukan
perbuatan yang dilakukan dalam bermuamalah dan pelakunya mendapatkan siksaan
yang pedih dari Allah SWT. Allah SWT
berfirman dalam (Q.S. An-Nisa: 161) yang artinya: “Dan disebabkan karena mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Beranjak dari hal
tersebut maka muncullah akad-akad baik yang berasal dari Rasulullah maupun ijma’
para ulama untuk mengatasi hal yang dilarang oleh agama islam. Dimana
akad-akad tersebut bertujuan untuk kemaslahatan umat, saling menolong dan yang
paling penting adalah menghindari larangan yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Tolong-menolong
dalam bermuamalah salah satunya diwujudkan dengan akad ‘Ariyah atau
pinjam-meminjam. Dengan adanya akad ‘Ariyah, masyarakat yang memerlukan
bantuan dapat meminjam pada yang memiliki barang dengan tanpa imbalan apapun
dan yang meminjam berkewajiban menjaga merawat dan mengembalikan barang yang
dipinjam harus dalam keadaan pada awal meminjam baeang tersebut.‘Ariyahberbeda
dengan hutang karena ‘Ariyahmerupakan meminjam barang pada orang lain,
dan barang yang dipinjam itulah yang harus dikembalikan dan tidak boleh
digantikan dengan barang yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian‘Ariyah
‘Ariyah secara
kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah menjadi satu istilah teknis dalam
ilmu fikih untuk menyebutkan perbuatan pinjam meminjam, sebagai salah satu
aktivitas antar manusia. Dalam pelaksanaannya , ‘ariyah diartikan
sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada
pihak lain, pihak yang memerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta
mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan,
dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang
diterimanya itu kepada pihak pemberi. Oleh sebab itu, para ulama biasanya
mendefinisikan ‘ariyah itu sebagai pembolehan oleh seseorang untuk
dimanfaatkan harta miliknya oleh orang lain tanpa diharuskan memberi imbalan.[1]
‘ariyah merupakan
transaksi muamalah yang murni tanpa adanya unsur komersial. Hukum asal ‘ariyah
adalah dianjurkan karena transaksi tersebut saling menguntungkan kedua
belah pihak. Di dalam Al-Qur’an surat al-maidah ayat 2 Allah SWT berfirman:
¢(#qçRur$yès?urn?tãÎhÉ9ø9$#3uqø)G9$#ur(wur(#qçRur$yès?n?tãÉOøOM}$#Èbºurôãèø9$#ur4
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran”.
B.
Dasar hukum ‘ariyah
Menurut kebiasaan (urf), ‘ariyah dapat diartikan
dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majaz
a.
Secara hakikat
‘ariyah adalah
meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut
malikiyah dan hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada
pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semakna dengan manfaat
menurut kebiasaaan.
Al-kurkhi, ulama syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari
suatu benda.
Dari perbedaan pandangan diatas, dapat ditetapkan menurut golongan
pertama, barang yang dipinjam (musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang
lain, bahkan menurut imam malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya
asalkan digunakan sesuai dengan fungsinya. Akantetapi, ulama malikiyah
melarangnya jika peminjam tidak mengizinkannya.[2]
b.
Secara majazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam-meminjam benda-benda yang
berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur,
uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya.
Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau
senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah
secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh
karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk
memanfaatkannya.[3]
C.
Rukun dan
syarat‘Ariyah
1.
Rukun ariyah
Ulama
hanfiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjam
barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut
ulama syaifiiyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz sighat akad, yakni
ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu tra
nsaksi
sebab memnafaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara
umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada 4, yaitu :
1.
Mu’ir
(peminjam)
2.
Musta’ir (yang
meminjamkan)
3.
Mu’ar (barang
yang dipinjam)
4.
Sighat, yakni
sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan
maupun perbuatan.
2.
Syarat ariyah
Ulama
fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
1.
Mu’ir berakal
sehat,
dengan
demikian, orang gila, dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjam
barang. Ulama hanafiyah tidak menyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya
menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat
kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan
bukan orang yang sedang pailit (bangkrut)
2.
Pemegangan
barang oleh peminjam
Ariyah
adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegan barang
adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah
3.
Barang
(musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat
dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para
ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang
dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah,
pakaian, binatang, dan lain-lain.
Diharamkan
meminjam senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan meminjamkan al-qur’an
atau yang berkaitan dengan al-qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang
meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram.
Berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran transaksi ada beberapa
hal yang harus diperhatikan:
1.
Harta yang
dipinjamkan harus berada dalam kekuasaan si pemilik, dengan kata lain jika
harta yang dipinjamkan bukan miliknya sendiri maka gugurlah transaksi tersebut.
2.
Obyek yang
dipinjam harus memiliki manfaat, baik berbentuk materi ataupun tidak.
3.
Pemanfaatan
harta yang dipinjam harus dimanfaatkan sesuai syariat, dengan kata lain jika
harta yang dipinjam dipinjam digunakan untuk melanggar syariat maka tidak
diperbolehkan.
Apakah Shighat yang dipakai dalam transaksi pinjam-meminjam? Dalam
hal ini agama tidak memberikan ketentuan khusus tentang bagaimana dan apa lafaz
yang harus dipakai . ini berarti pihak peminjam dan yang meminjamkan boleh
memakai lafaz apa saja, asalkan menggambarkan adanya transaksi pinjm-meminjam.
Hal ini diserahkan kepada adat dan kebiasaan yang berlaku, asalkan
pelaksanaannya menunjukan adanya akad pinjam meminjam yang berlangsung dengan
penuh kerelaan.
Kegiatan ‘ariyah, seperti yang pernah disinggung diatas,
bukanlah pemindahan hak milik, tetapi hanya keizinan memanfaatkan barang
pinjaman kepada pihak peminjam untuk sementara waktu. Disini terkandung suatu maksud bahwa bila
pihak peminjam telah mendapatkan manfaat dari harta yang dipinjamnya, atau
telah sampai jangka waktu peminjaman
yang ditentukan ketika akad, maka ia berkewajiban mengembalikan barang yang
dipinjamnya kepada pemiliknya. Tidak ada
alasan bagi pihak peminjam untuk menunda-nunda waktu pengembaliannya. Dalam suatu
riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan tirmidzi disebutkan bahwa
Rasulullah SAW telah bersabda: “ barang yang dipinjam harus dikembalikan. Bila
seoarang yang mengembalikan pinjamannya,
atau menunda waktu pemulangannya, berarti ia telah berbuat khianat serta
maksiat kepada pihak penlong.
Kenapa dikatakan demikian? Sebab perbuatan yang seperti itu
bertentangan dengan ajaran Allah yang mewajibkan seseorang yang menunaikan
amanah serta dilarang berbuat khianat. Seperti diterangkan dalam surat an-Nisa ayat
58.
*¨bÎ)©!$#öNä.ããBù'tbr&(#rxsè?ÏM»uZ»tBF{$##n<Î)$ygÎ=÷dr&#sÎ)urOçFôJs3ymtû÷üt/Ĩ$¨Z9$#br&(#qßJä3øtrBÉAôyèø9$$Î/4¨bÎ)©!$#$KÏèÏR/ä3ÝàÏètÿ¾ÏmÎ/3¨bÎ)©!$#tb%x.$JèÏÿx#ZÅÁt/ÇÎÑÈ
”Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.”
Menurut agama, pihak peminjam tidak hanya sekedar wajib
mengembalikan pinjamannya apa adanya, tetapi juga wajib memelihara barang
pinjaman selama dalam tanggungannya. Dalam suatu riwayat Rasulullah SAW bersabda: “ pemegang
berkewajiban memelihara apa yang sudah ia terima sampai benda itu dipulangkan
kepada pemiliknya”
D.
Pendapat Para
Ulama Tentang Status Barang Pinjaman dalam ‘Ariyah
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik
dipakai ataupun tidak.
Ulama
malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada
padanya, yakni yang dapat disembunyikan, seperti baju. Dia tidak harus
menanggung sesuatu yang ridak dapat disembunyikan seperti hewan atau barang
yang jelas dalam kerusakannya.
Menurut
kalangan Syafi’yah peminjam menaggung harga barang bila terjadi kerusakan dan
bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan iziin yang siberikan pemilik
walaupun tidak sengaja. Menurut ulama Hanabilah behwa peminjam menanggung
kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak.
Sementara ulama Hambaliyah menyatakan. Jika barang yang dipinjam adalah
benda-benda wakaf, kemudian rusak tanpa disengaja maka ia tidak harus
menanggung kerusakannya, sebab tujuan peminjaman barang itu ditujukan untuk
kemaslatan umum.
E.
Perbedaan
hutang dengan pinjaman
1.
Hutang dari
aspek pengembaliannya harus mengembalikan sesuai jumlah yang sama, sementara
pinjaman pengembaliannya sesuai dengan kondisi barang awal yang dipinjamkan
2.
Hutang berarti
mengambil manfaat dan zat dari barang yang dihutang, sementara pinjaman hanya
mengambil manfaat dari barang yang dipinjam.
KESIMPULAN
‘Ariyah secara
kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah menjadi satu istilah teknis dalam
ilmu fikih untuk menyebutkan perbuatan pinjam meminjam, sebagai salah satu
aktivitas antar manusia. Dalam pelaksanaannya , ‘ariyah diartikan
sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada
pihak lain, pihak yang memerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta
mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan,
dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang
diterimanya itu kepada pihak pemberi. Dalam kegiatannnya ariyah memiliki sayarat dan rukun tertentu untuk dipenuhi agar sah
akadnya. Berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran transaksi ada beberapa hal
yang harus diperhatikan:
1.
Harta yang
dipinjamkan harus berada dalam kekuasaan si pemilik, dengan kata lain jika
harta yang dipinjamkan bukan miliknya sendiri maka gugurlah transaksi tersebut.
2.
Obyek yang
dipinjam harus memiliki manfaat, baik berbentuk materi ataupun tidak.
3.
Pemanfaatan
harta yang dipinjam harus dimanfaatkan sesuai syariat, dengan kata lain jika
harta yang dipinjam dipinjam digunakan untuk melanggar syariat maka tidak
diperbolehkan.
Perbedaan hutang dengan
pinjaman
1.
Hutang dari
aspek pengembaliannya harus mengembalikan sesuai jumlah yang sama, sementara
pinjaman pengembaliannya sesuai dengan kondisi barang awal yang dipinjamkan
2.
Hutang berarti
mengambil manfaat dan zat dari barang yang dihutang, sementara pinjaman hanya
mengambil manfaat dari barang yang dipinjam.
DAFTAR PUSTAKA
*helmi karim, fiqh muamalah, jakarta, raja grafindo persada, 2002,
0 komentar:
Posting Komentar