SALAFIYAH DAN PEMIKIRAN KALAMNYA
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah Ilmu Kalam
Pembimbing : Drs. H. Amir Gufron,
M.Ag
Disusun oleh :
1.
Arif Setiyawan ( 141221205 )
2.
Mira Noorchotimah ( 141221212 )
3.
Fitri Amalia ( 141221218 )
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
Mempelajari mata kuliah ilmu kalam merupakan
salah satu dari tiga komponen utama rukun iman. Ketiga komponen itu, yaitu
nuthqun bi al-lis’ani (mengucapkan dengan lisan), amalun bi al-ark’ani (
melaksanakan sesuai dengan rukun-rukun), dan tashd’iqun bi al-qalbi (
membenarkan dengan hati ). Agar keyakinan itu dapat tumbuh dengan kukuhnya,
para ulama dahulu telah melalukan kajian secara mendalam.
Untuk menjadikan ucapan lisan secara meyakinkan dan kukuh diperlukan
ilmunya, yaitu ilmu tauhid, ilmu yang membahas tentang masalah ketuhanan. Pada
gilirannya dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial yang berlaku pada
saatnya, ilmu tauhid telah berkembang menjadi ilmu kalam. Sementara itu, ilmu
yang dapat memperkukuh amalan-amalan iman dinamakan ilmu fiqh. Ilmu fiqh
menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan amalan-amalan seorang yang
beriman agar keimanannya semakin kuat.
Diantara amalan itu, yaitu amalan-amalan ibadah mahdhah, seperti salat, puasa, zakat, dan
berhaji ke baitullah. Adapun ilmu yang membahas agar hati seorang mukmin dapat
memperoleh keyakinan yang kuat, para ulama masa lalu mengajarkan ilmu tasawuf.
Dengan ilmu ini, diharapkan iman seorang mukmin maupun meresap ke dalam hati
seseorang mukmin yang terdalam.
BAB
II
PEMBAHASAN
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan
salafiyah berkembang terutama di baghdad
pada abad ke-13.
Pada masa itu, terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan
kaum hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah hanbali di
jerussalem dan damaskus. Di damaskus kaum hanbali semakin kuat dengan
kedatangan para pengungsi dari Irak yang di sebabkan serangan Mongol atas Irak.
Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari harran, yaitu keluarga
Ibn Taimiah. Ibn Taimiah ( 1263-1328 M ) adalah seorang ulama besar penganut
Imam Hanbali yang ketat.
Berdasarkan
uraian Ibrahim Madzkur, karakteristik-karakteristik ulama salaf atau salafiyah
dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Lebih
mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2. Dalam
persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama
(furu’ad-din), hanya bertolak dari penjelasan-penjelasan Al-kitab dan
As-sunnah.
3. Mengimani
Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) tidak pula mempunyai
paham antropomorfisme.
4. Memahami
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, tidak berupa untuk menakwilkannya.
Melihat
karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur di atas, tokoh-tokoh berikut
dapat dikategorikan sebagai ulama salaf. Tokoh yang dimaksud adalah Abdullah
bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin Abd Al-Aziz (101 H),
Az-Zuhri (124 H), ja’far Ash-Shadiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat
(Imam hanafi,maliki, syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal). Harun Nasution
menganggap bahwa secara kronologis, salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin
Hanbal. Lalu, ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiah, disuburkan oleh imam
Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara
sporadis. Di indonesia, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh
gerakan-gerakan persatuan islam (persis), bahkan muhammadiyah. Gerakan-gerakan
lainnya, pada dasarnya juga menganggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi
teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang di kenal dengan istilah
logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan mereka sebagai ulama salaf,
mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi
(ketuhanan).
Berikut
akan di jelaskan beberapa ulama salaf dengan pemikirannya yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan kalam :
1. Imam
Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
a. Riwayat
hidup singkat Ibn Hanbal
Ibn
Hanbal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia
sering di panggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah.
Ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena menjadi pendiri mazhab
Hanbali. Ibunya bernama shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik binti Sawadah
binti Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin
Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin
Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’b bin
Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi’al-Hadis bin Nizar. Di dalam deluarga Nizar
ini tampaknya Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya, Nabi Muhammad
SAW.
Ayahnya
meninggal ketika Ibn Hanbal masih berusia muda. Meskipun demikian, ayahnya
telah mengawalinya memberikan pendidikan Al-Qur’an. Pada usia 16 tahun, ia
belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama baghdad. Lalu
mengunjungi ulama-ulama terkenal di kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, dan
Madinah. Di antara guru-gurunya adalah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah,
Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf
Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahin bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-syafi’ie,
Abd Razaq bin humam, dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal
mempelajari ilmu Fiqh, Hadits, Tafsir, Kalam, Ushul, dan Bahasa Arab.
Ibn
hanbal dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidur
hanya sedikit pada malam hari. Ia juga di kenal sebagai seorang dermawan. Pada
suatu ketika, Khalifah Makmun Ar-Rashid membagikan beberapa keping emas untuk
di berikan kepada para ulama hadits, yang merupakan kebiasaan khalifah pada
masa itu. Ibn Hanbal justru menolaknya. Diriwayatkan pula, suatu ketika Syekh
Abdul Razak datang untuk menengoknya. Diriwayatkan pula, suatu ketika Syekh
Abdul Razak datang untuk menengoknya yang sedang dalam kesulitan keuangan di
Yaman. Gurunya itu mengambil segenggam dinar dari kantongnya dan diberikan
kepada Ibn Hanbal, tetapi Ibn Hanbal menagatakan, “Saya tidak membutuhkannya.
Sebagai
seorang yang teguh pendirian, ketika Khalifah Al-Makmun mengembangkan Mazhab
Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban “mihnah” karena tidak mengakui bahwa
Al-Qur’an itu Makhluk, sehingga ia harus masuk penjara. Nasib serupa di
alaminya pada masa pemerintahan para pengganti Al-Makmun, yaitu Al-Mu’tasim dan
Al-Watsiq. Setelah Al-Mutawakil naik tahta, Ibn hanbal memperoleh kebebasan.
Pada masa ini, ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
2. Pemikiran
Teologi Ibn Hanbal
a. Ayat-ayat
mutasyabinat
Dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Hanbal lebih menyukai pendekatan lafdzi (tekstual)
dari pada pendekatan takwil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan
dan ayat-ayat mutasyabinat. Hal itu terbukti ketika ia di tanya tentang
penafsiran ayat:
ุงَ ูุฑَّ ุญْู
َُู ุนََูู ุง ْูุนَุฑْ ุดِ ุงุณْุชََูู
Artinya
: “(Yaitu) yang Maha pengasih, yang bersemayam di atas Arsy.”
Dalam
hal ini, Hanbal menjawab :
ุงِ ุณْุชََู ู ุนََูู ุงْ ูุนَุฑْ ุดِ ََْููู ุดَุง ุกَ َู َูู
َุง
ุดَุง ุกَ ุจِูุงَ ุญَุฏٍّ َู َูุง ِุตَูุฉٍ ُูุจَِّูุบَُูุง َู ุง ุตُِู
Artinya
: “Istiwa di atas arasy terserah Dia dan bagaimana Dia kehendaki dengan tiada
batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.
Kemudian, ketika ditanya tentang makna hadis nuzul
(tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat tuhan di
akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab :
ُูุคْ ู
ُِู ุจَِูุง َู ُูุตَุฏِّ َُููุง َู ูุงَ ََْููู َู ูุงَ
ู
َุนْูู
Artinya : “kita mengimani dan membenarkan, tanpa
mencari penkelasan cara dan maknanya.”
Dari pertanyaan di atas, Ibn Hanbal tampaknya bersikap
menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan menyucikan-Nya dari kesurupan dengan makhluk. Ia sama sekali
tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
b.
Status Al-Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang di hadapi Ibn
Hanbal yang kemudian membuatnya di penjara beberapa kali adalah tentang status
Al-Qur’an, apakah di ciptakan (makhluk) karena hadits (baru) ataukah tidak
diciptakan karena qadim. Paham yang diakui oleh pemerintah resmi pada saat itu,
yaitu dinasti abbasiah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim,
dan Al-Watsiq adalah paham Mu’tazilah, yaitu Al-Qur’an tidak bersifat qadim,
tetapi baru dan diciptakan. Sebab, paham adanya qadim di samping tuhan, bagi
mu’tazilah berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar
yang tidak diampuni Tuhan.
Tampaknya, Ibn Hanbal tidak sependapat dengan paham
resmi di atas. Oleh karena itu, ia kemudian di uji dalam kasus mihnah oleh
aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat di lihat dari
dialognya dengan ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak.
3.
Riwayat
hidup singkat Ibn Taimiah
Nama lengkap Ibn Taimiah adalah Taqiyuddin Ahmad bin
Abi Al-Halim bin Taimiah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10
Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20
Dzulqaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk
Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslim pada umumnya. Ayahnya bernama
Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam Ibn Abdillah bin Taimiah,
seorang syekh,khatib, dan hakim d kotanya.
Dikatakan oleh ibrahim Madzkur bahwa Ibn Taimiah
merupakan seorang tokoh salaf ekstrem karena kurang memberikan ruang gerak pada
akal. Ia murid muttaqi,wara dan zuhud. Ia seorang panglima dan penentang bangsa
tartas yang berani dengan mengangkat senjata. Ia di kenal sebagai seorang
muhaddits, mufasir, faqih, teolog, bahkan banyak mengetahui tentang filsafat.
Ia telah mengkritik Khalifah Umar dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga
menyerang Al Ghazali Ibn Arabi. Kritikannya di tujukan pula kepada
kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama pada
zamannya. Berulang kali Ibn Taimiah masuk penjara hanya karena bersengketa
dengan para ulama pada zamannya.
Ibn Taimiah di kenal dengan kecerdasan sehingga pada
usia 17 tahun telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan
mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama lawan Ibn Taimiah yang sangat
risau oleh serangan-serangannya, serta iri hati terhadap kedudukannya di istana
Gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiah sebagai
landasan untuk menyerangnya. Di katakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn
Taimiah sebagai klenik, antropomorfisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiah
di panggil ke Kairo. Sesuai keputusan pengadilan kilat, akhirnya ia di
penjarakan.
Harus di maklumi bahwa masa hidup Ibn Taimiah
bersamaan dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami disintegrasi,
dislokasi sosial, dan dedadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima
tahun setelah baghdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh karena itu,
sangat pantas apabila Ibn Taimiah dalam upayanya mempersatukan umat islam
mengalami banyak tantangan, bahkan dirinya harus wafat di dalam penjara.
4.
Pemikiran
teologi Ibn Taimiah
Pikiran-pikiran Ibn Taimiah, seperti dikatakan Ibrahim
Madzkur adalah sebagai berikut :
a.
Berpegang teguh
pada nash (teks Al-Qur’an dan Al-Hadits)
b.
Tidak memberikan
ruang gerak yang bebas pada akal
c.
Berpendapat
bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
d.
Di dalam islam
yang di teladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin dan tabii tabiin)
e.
Allah memiliki
sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya
f.
Ibn Taimiah
mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa apabila kalamullah
qadim,kalamnya pasti qadim pula
Ibn Taimiah adalah seorang tekstualis. Oleh karena
itu, pandangannya di anggap oleh ulama Mazhab Hanbali, Al-Khatib Ibn Al-Jauzi
sebagai pandangan tajsim Allah, yaitu menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya.
Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiah sebagai salaf
perlu di tinjau kembali.
Berikut pandangan-pandangan Ibn Taimiah tentang
sifat-sifat Allah.
1.
Percaya sepenuh
hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati.
Sifat-sifat yang di maksud adalah:
a.
Sifat salbiah
yaitu qidam,baqa, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuuhu bi nafsihi, dan
wahdaniyah
b.
Sifat ma’ani
yaitu qudrah, iradah, sama, bahsar, hayat, ilmu dan kalam
c.
Sifat khabariah
(sifat-sifat yang di terangkan oleh Al-Qur’an dan Hadits meskipun akal
bertanya-tanya tentang maknanya) seperti kenangan yang menyatakan bahwa Allah
di langit, Allah di atas Arasy, Allah turun ke langit dunia, Allah di lihat
oleh orang beriman di surga kelak, wajah , tangan, mata Allah
d.
Sifat dhafiah
meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, seperti
rabb al-alamin, khaliq al-kaun dan falik al-hubb wa an-nawa
2.
Percaya
sepenuhnya terhadap nama-nama Nya yang Allah atau Rasul-Nya sebutkan, seperti
al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy,
al-qayyum, as-sami dan al-bashir
3.
Menerima
sepenuhnya sifat-sifat dan nama-nama Allah dengan:
a.
Tidak mengubah
maknanya pada makna yang tidak di kehendaki lafaz (min ghair tahrif)
b.
Tidak
menghiilangkan pengertian pengertian lafaz (min ghair ta’thil)
c.
Tidak
mengingkarinya (min ghair ilhad)
d.
Tidak
menggambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran, hati, maupun dengan indra ( min
ghair takyif at-takyif)
e.
Tidak
menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat Nya dengan sifat-sifat
makhluk-Nya (min ghair tamtsil rabb al-alamin), hal ini di sebabkan bahwa tiada
sesuatu pun yang dapat menyamai Nya bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, Ib Taimiah tidak
menyetujui setiap penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat-ayat atau
hadits-hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus di terima dan di artikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidan men-tafsim-kan, tidak mnyerupakan-Nya
dengan Makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang itu.
Ibn Taimiah mengakui tiga hal dalam masalah
keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu Allah pencipta segala sesuatu, Hamba
pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara
sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya Allah
meridai perbuatan baik dan tidak meridai perbuatan yang buruk.
Dikatakan oleh watt bahwa pemikiran Ibn Taimiah
mencapai klimaks-nya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.
Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan-nya
yang mutlak. Oleh karena itu, masalah Tuhan tidak dapat di peroleh dengan
metode rasional, baik dengan metode filsafat maupun teologi.
Demikian juga, keinginan manusia untuk menyatu dengan
Tuhan sebagai suatu yang mustahil. Oleh karena itu, Ibn Taimiah sangat tidak
suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Qur’an berisi dalil khitabi dan
iqna’i (penenangan dan pemuas hati) Aliran Mu’tazilah yang selalu mendahulukan
dalil rasional daripada dalil Al-Qur’an, sehingga banyak menggunakan takwil,
ulama yang memercayai dalil-dalil Al-Qur’an, tetapi hanya di jadikan sebagai pangkal
penyelidikan akal, meskipun untuk memperkuat isi Al-Qur’an seperti Al-Maturidi,
mereka yang mempercayai dalil-dalil Al-Qur’an, tetapi menggunakan pula
dalil-dalil akal di samping Al-Qur’an seperti Al-Asy’ari.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salaf bukanlah suatu “harakah” bukan pula
manhaj hizbi (fanatisme golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan
taklid,kekerasan, tetapi manhaj salaf adalah ajaran islam sesungguhnya yang di
bawa oleh Nabi SAW dan di fahami serta di jalankan oleh para salafush-shalih-radhiyalahu
anhum, yang di tokohi oleh para sahabat, kemudian oleh para tabi’in dan
selanjutnya tabi’i ta’biin.
Imam hanbali adalah salah satu tokoh ulama
salaf yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan
pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan ta’wil, kemudian beliau
menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihad kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan
tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada
akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan
penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran
ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut
sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan
cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak
bertanya-tanya tentangNya.