BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Makalah
Sejak
zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute
pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di
daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa
kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi
yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan
penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal
dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para
pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad
ke-1 dan 7 M sering disinggahi pedagang asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan
Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan
dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang
berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di
Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun
belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
1.2.
Rumusan Masalah
a.
Sejak kapan Islam masuk ke Indonesia?
b.
Bagaimankah corak dan perkembangan Islam di Indonesia?
c.
Siapakah tokoh-tokoh Perkembangan Islam Di Indonesia?
1.3. Tujuan
Penulisan
a.
Untuk mengetahui kapan masuknya Islam ke Indonesia.
b.
Untuk mengetahui corak dan Perkembangan Islam di
Indonesia.
c.
Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Masuknya Islam Ke Indonesia
Ditinjau
dari sudut sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara. Pada
umumnya pembawa agama Islam adalah para pedagang yang berasal dari jazirah
Arab, mereka merasa berkewajiban menyiarkan agama Islam kepada orang lain.
Agama Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai, tidak dengan kekerasan,
peperangan ataupun paksaan.
Ada
beberapa pendapat para ahli tentang waktu dan daerah yang mula-mula dimasuki
Islam di Indonesia, di antaranya yaitu:
1.
Drs Juned Pariduri, berkesimpulan bahwa agama Islam
pertama kali masuk ke Indonesia melalui daerah Sumatra Utara (Tapanuli) pada
abad ke-7. Kesimpulan ini didasarkan pada penyelidikannya terhadap sebuah makam
Syaikh Mukaiddin di Tapanuli yang berangka tahun 48 H (670 M).
2.
Hamka, berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada
abad ke-7 M(674). Hal ini didasarkan pada kisah sejarah yang menceritakan
tentang Raja Ta-Cheh yang mengirimkan utusan menghadap Ratu Sima dan menaruh
pundi-pundi berisi emas ditengah-tengah jalan dengan maksud untuk menguji
kejujuran, keamanan dan kemakmuran negeri itu. Menurut Hamka, Raja Ta-Cheh
adalah Raja Arab Islam.
3.
Zainal Arifin Abbas, berpendapat bahwa agama Islam
masuk di Sumatra Utara pada abad 7 M (648). Beliau mengatakan pada waktu itu
telah datang di Tiongkok seorang pemimpin Arab Islam yang telah mempunyai
pengikut di Sumatra Utara.
Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M. Pada abad ke-13 agama Islam berkembang dengan
pesat ke seluruh Indonesia.
Hal itu di tandai dengan adanya penemuan-penemuan batu nisan atau makam yang
berciri khas Islam, misalnya di Leran (dekat Gresik) terdapat sebuah batu
berisi keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti
Maimun pada tahun 1082 dan di Samudra Pasai terdapat makam-makam Raja Islam, di
antaranya Sultan Malik as-Shaleh yang meninggal pada tahun 676 H atau 1292 M.
Berbeda
dengan pendapat di atas, dua orang sarjana barat yaitu Prof. Gabriel Ferrand
dan Prof. Paul Wheatly. Bersumber pada keterangan para musafir dan pedagang
Arab tentang Asia Tenggara, maka ke-2 sarjana tersebut bahwa agama Islam masuk
ke Indonesia sejak awal ke-8 M, langsung dibawa oleh para pedagang dan musafir
Arab.
2.2.
Corak dan Perkembangan Islam di Indonesia
1.
Masa Kesulthanan
Untuk
melihat lebih jelas gambaran keislaman di kesultanan atau kerajaan-kerajaan
Islam akan di uraikan sebagai berikut.
Di
daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti
daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama Islam
secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik
penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah
menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di
kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan Islam selanjutnya
tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan
kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat
Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan
di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di
kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya
berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam
Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah
Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai
lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar,
di berlakukannya hukum
bunuh bagi orang murtad, hukum potong tangan
untuk pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat zina.
Guna
memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa, maka dilakukan upaya agar Islam dan
tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid sebagai
pusat pendidikan Islam.
Dengan
kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan
untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan
syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan
akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada
di bawah kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin oleh Sultan Agung.
Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan
Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain
sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan
istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti
sebenarnya.
2.
Masa Penjajahan
Ditengah-tengah
proses transformasi sosial yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang
Barat, yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris.
Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang
pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada
mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang
karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi
setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan
pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam
penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan
gagasannya yang di kenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu
ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
a.
Bidang agama murni atau ibadah;
b.
Bidang sosial kemasyarakatan; dan
c.
Politik.
Terhadap
bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam
untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah Belanda.
Dalam
bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku
sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum
Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan
apabila tidak bertentangan dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi
kemandekan hukum Islam.
Sedangkan
dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum
Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik
kenegaraan atau ketatanegaraan.
3.
Gerakan dan organisasi Islam
Akibat
dari “resep politik
Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam
Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari
pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide etimpera, politik penindasan
dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun,
ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu
saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik
baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh
karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya
kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran
pembaruan Islam di Mesir.
Akibat
dari situasi ini, timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah
pemikir-pemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam
itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama
Islamlah yang dapat di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan
pemerintahan (pangreh
praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan
antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara
pemimpin Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di
kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir
yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua
kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama
tradisional.
Selama
pendudukan jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari
pada golongan nasionalis karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan
perang mereka. Ada tiga perantara politik berikut ini yang merupakan hasil
bentukan pemerintah Jepang yang menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
a.
Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan
Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda.
b.
Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin
Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943.
c.
Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan Allah), semacam
organisasi militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh Zainul
Arifin.
2.3.
Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di
Indonesia
Proses
penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para
ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan
masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Hamzah Fansuri
Ia
hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590.
Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India,
Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu
fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.
2.
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau
lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H.
Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba
Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub
bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.
3.
Syaikh Abdussamad Al-Palimbani
Ia
merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan.
Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur
Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau
adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis
Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.
4.
Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau
lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan
Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir.
Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari
Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia
belajar Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid
Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad
Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada
tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia
banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang
tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di
kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan
menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.
5.
Wali Songo
Dalam
sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa terdapat
sembilan orang ulama yang memiliki peran sangat besar. Mereka dikenal dengan
sebutan wali songo.
Para
wali ini umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak dari abad ke-15 hingga
pertengahan abad ke-16. Para wali menyebarkan Islam di Jawa di tiga wilayah
penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), Demak, Kudus dan
Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah para ulama
yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai
bentuk peradaban baru seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan,
kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Adapun
wali-wali tersebut yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan
Muria.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a.
Perkembangan Islam di Indonesia adalah berkat peran
para pedagang dari Jazirah Arabia melalui jalan perdagangan, dakwah dan
perkawinan.
b.
Para ulama awal yang menyebarkan Islam di Indonesia di
antaranya yaitu; Hamzah Fansuri, Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari, BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Makalah
Sejak
zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute
pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di
daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa
kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi
yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan
penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal
dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para
pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad
ke-1 dan 7 M sering disinggahi pedagang asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan
Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan
dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang
berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di
Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun
belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
1.2.
Rumusan Masalah
a.
Sejak kapan Islam masuk ke Indonesia?
b.
Bagaimankah corak dan perkembangan Islam di Indonesia?
c.
Siapakah tokoh-tokoh Perkembangan Islam Di Indonesia?
1.3. Tujuan
Penulisan
a.
Untuk mengetahui kapan masuknya Islam ke Indonesia.
b.
Untuk mengetahui corak dan Perkembangan Islam di
Indonesia.
c.
Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Masuknya Islam Ke Indonesia
Ditinjau
dari sudut sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara. Pada
umumnya pembawa agama Islam adalah para pedagang yang berasal dari jazirah
Arab, mereka merasa berkewajiban menyiarkan agama Islam kepada orang lain.
Agama Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai, tidak dengan kekerasan,
peperangan ataupun paksaan.
Ada
beberapa pendapat para ahli tentang waktu dan daerah yang mula-mula dimasuki
Islam di Indonesia, di antaranya yaitu:
1.
Drs Juned Pariduri, berkesimpulan bahwa agama Islam
pertama kali masuk ke Indonesia melalui daerah Sumatra Utara (Tapanuli) pada
abad ke-7. Kesimpulan ini didasarkan pada penyelidikannya terhadap sebuah makam
Syaikh Mukaiddin di Tapanuli yang berangka tahun 48 H (670 M).
2.
Hamka, berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada
abad ke-7 M(674). Hal ini didasarkan pada kisah sejarah yang menceritakan
tentang Raja Ta-Cheh yang mengirimkan utusan menghadap Ratu Sima dan menaruh
pundi-pundi berisi emas ditengah-tengah jalan dengan maksud untuk menguji
kejujuran, keamanan dan kemakmuran negeri itu. Menurut Hamka, Raja Ta-Cheh
adalah Raja Arab Islam.
3.
Zainal Arifin Abbas, berpendapat bahwa agama Islam
masuk di Sumatra Utara pada abad 7 M (648). Beliau mengatakan pada waktu itu
telah datang di Tiongkok seorang pemimpin Arab Islam yang telah mempunyai
pengikut di Sumatra Utara.
Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M. Pada abad ke-13 agama Islam berkembang dengan
pesat ke seluruh Indonesia.
Hal itu di tandai dengan adanya penemuan-penemuan batu nisan atau makam yang
berciri khas Islam, misalnya di Leran (dekat Gresik) terdapat sebuah batu
berisi keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti
Maimun pada tahun 1082 dan di Samudra Pasai terdapat makam-makam Raja Islam, di
antaranya Sultan Malik as-Shaleh yang meninggal pada tahun 676 H atau 1292 M.
Berbeda
dengan pendapat di atas, dua orang sarjana barat yaitu Prof. Gabriel Ferrand
dan Prof. Paul Wheatly. Bersumber pada keterangan para musafir dan pedagang
Arab tentang Asia Tenggara, maka ke-2 sarjana tersebut bahwa agama Islam masuk
ke Indonesia sejak awal ke-8 M, langsung dibawa oleh para pedagang dan musafir
Arab.
2.2.
Corak dan Perkembangan Islam di Indonesia
1.
Masa Kesulthanan
Untuk
melihat lebih jelas gambaran keislaman di kesultanan atau kerajaan-kerajaan
Islam akan di uraikan sebagai berikut.
Di
daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti
daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama Islam
secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik
penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah
menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di
kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan Islam selanjutnya
tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan
kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat
Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan
di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di
kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya
berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam
Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah
Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai
lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar,
di berlakukannya hukum
bunuh bagi orang murtad, hukum potong tangan
untuk pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat zina.
Guna
memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa, maka dilakukan upaya agar Islam dan
tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid sebagai
pusat pendidikan Islam.
Dengan
kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan
untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan
syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan
akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada
di bawah kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin oleh Sultan Agung.
Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan
Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain
sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan
istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti
sebenarnya.
2.
Masa Penjajahan
Ditengah-tengah
proses transformasi sosial yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang
Barat, yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris.
Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang
pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada
mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang
karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi
setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan
pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam
penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan
gagasannya yang di kenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu
ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
a.
Bidang agama murni atau ibadah;
b.
Bidang sosial kemasyarakatan; dan
c.
Politik.
Terhadap
bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam
untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah Belanda.
Dalam
bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku
sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum
Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan
apabila tidak bertentangan dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi
kemandekan hukum Islam.
Sedangkan
dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum
Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik
kenegaraan atau ketatanegaraan.
3.
Gerakan dan organisasi Islam
Akibat
dari “resep politik
Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam
Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari
pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide etimpera, politik penindasan
dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun,
ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu
saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik
baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh
karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya
kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran
pembaruan Islam di Mesir.
Akibat
dari situasi ini, timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah
pemikir-pemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam
itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama
Islamlah yang dapat di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan
pemerintahan (pangreh
praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan
antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara
pemimpin Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di
kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir
yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua
kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama
tradisional.
Selama
pendudukan jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari
pada golongan nasionalis karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan
perang mereka. Ada tiga perantara politik berikut ini yang merupakan hasil
bentukan pemerintah Jepang yang menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
a.
Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan
Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda.
b.
Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin
Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943.
c.
Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan Allah), semacam
organisasi militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh Zainul
Arifin.
2.3.
Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di
Indonesia
Proses
penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para
ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan
masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Hamzah Fansuri
Ia
hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590.
Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India,
Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu
fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.
2.
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau
lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H.
Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba
Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub
bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.
3.
Syaikh Abdussamad Al-Palimbani
Ia
merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan.
Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur
Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau
adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis
Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.
4.
Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau
lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan
Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir.
Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari
Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia
belajar Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid
Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad
Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada
tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia
banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang
tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di
kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan
menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.
5.
Wali Songo
Dalam
sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa terdapat
sembilan orang ulama yang memiliki peran sangat besar. Mereka dikenal dengan
sebutan wali songo.
Para
wali ini umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak dari abad ke-15 hingga
pertengahan abad ke-16. Para wali menyebarkan Islam di Jawa di tiga wilayah
penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), Demak, Kudus dan
Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah para ulama
yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai
bentuk peradaban baru seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan,
kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Adapun
wali-wali tersebut yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan
Muria.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a.
Perkembangan Islam di Indonesia adalah berkat peran
para pedagang dari Jazirah Arabia melalui jalan perdagangan, dakwah dan
perkawinan.
b.
Para ulama awal yang menyebarkan Islam di Indonesia di
antaranya yaitu; Hamzah Fansuri, Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari, Syaikh
Abdussamad Al-Palimbani, Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani dan wali
songo (Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria).
3.2. Kritik
dan Saran
Demikian pembahasan dari makalah kami. Kami berharap semoga
pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca. Dan
kami pun berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan dalam
tugas kami selanjutnya. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Makalah
Sejak
zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute
pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di
daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa
kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi
yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan
penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal
dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para
pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad
ke-1 dan 7 M sering disinggahi pedagang asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, dan
Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan
dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang
berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di
Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun
belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
1.2.
Rumusan Masalah
a.
Sejak kapan Islam masuk ke Indonesia?
b.
Bagaimankah corak dan perkembangan Islam di Indonesia?
c.
Siapakah tokoh-tokoh Perkembangan Islam Di Indonesia?
1.3. Tujuan
Penulisan
a.
Untuk mengetahui kapan masuknya Islam ke Indonesia.
b.
Untuk mengetahui corak dan Perkembangan Islam di
Indonesia.
c.
Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Masuknya Islam Ke Indonesia
Ditinjau
dari sudut sejarah, agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara. Pada
umumnya pembawa agama Islam adalah para pedagang yang berasal dari jazirah
Arab, mereka merasa berkewajiban menyiarkan agama Islam kepada orang lain.
Agama Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai, tidak dengan kekerasan,
peperangan ataupun paksaan.
Ada
beberapa pendapat para ahli tentang waktu dan daerah yang mula-mula dimasuki
Islam di Indonesia, di antaranya yaitu:
1.
Drs Juned Pariduri, berkesimpulan bahwa agama Islam
pertama kali masuk ke Indonesia melalui daerah Sumatra Utara (Tapanuli) pada
abad ke-7. Kesimpulan ini didasarkan pada penyelidikannya terhadap sebuah makam
Syaikh Mukaiddin di Tapanuli yang berangka tahun 48 H (670 M).
2.
Hamka, berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada
abad ke-7 M(674). Hal ini didasarkan pada kisah sejarah yang menceritakan
tentang Raja Ta-Cheh yang mengirimkan utusan menghadap Ratu Sima dan menaruh
pundi-pundi berisi emas ditengah-tengah jalan dengan maksud untuk menguji
kejujuran, keamanan dan kemakmuran negeri itu. Menurut Hamka, Raja Ta-Cheh
adalah Raja Arab Islam.
3.
Zainal Arifin Abbas, berpendapat bahwa agama Islam
masuk di Sumatra Utara pada abad 7 M (648). Beliau mengatakan pada waktu itu
telah datang di Tiongkok seorang pemimpin Arab Islam yang telah mempunyai
pengikut di Sumatra Utara.
Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M. Pada abad ke-13 agama Islam berkembang dengan
pesat ke seluruh Indonesia.
Hal itu di tandai dengan adanya penemuan-penemuan batu nisan atau makam yang
berciri khas Islam, misalnya di Leran (dekat Gresik) terdapat sebuah batu
berisi keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti
Maimun pada tahun 1082 dan di Samudra Pasai terdapat makam-makam Raja Islam, di
antaranya Sultan Malik as-Shaleh yang meninggal pada tahun 676 H atau 1292 M.
Berbeda
dengan pendapat di atas, dua orang sarjana barat yaitu Prof. Gabriel Ferrand
dan Prof. Paul Wheatly. Bersumber pada keterangan para musafir dan pedagang
Arab tentang Asia Tenggara, maka ke-2 sarjana tersebut bahwa agama Islam masuk
ke Indonesia sejak awal ke-8 M, langsung dibawa oleh para pedagang dan musafir
Arab.
2.2.
Corak dan Perkembangan Islam di Indonesia
1.
Masa Kesulthanan
Untuk
melihat lebih jelas gambaran keislaman di kesultanan atau kerajaan-kerajaan
Islam akan di uraikan sebagai berikut.
Di
daerah-daerah yang sedikit sekali di sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti
daerah-daerah Aceh dan Minangkabau di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama Islam
secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, sosial dan politik
penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah
menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni.
Di
kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya raja, perkembangan Islam selanjutnya
tidak begitu sulit karena raja menunjangnya dengan fasilitas dan
kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya mebawa kepada kehidupan masyarakat
Banjar yang benar-benar bersendikan Islam. Secara konkrit, kehidupan keagamaan
di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya mufti dan qadhi atas jasa
Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang fiqih dan tasawuf. Di
kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian hukum-hukum yang sepenuhnya
berorientasi pada hukum islam yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam. Dalam
Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan mufti mirip dengan Mahkamah
Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau perlu berfungsi sebagai
lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa. Tercatat dalam sejarah Banjar,
di berlakukannya hukum
bunuh bagi orang murtad, hukum potong tangan
untuk pencuri dan mendera bagi yang kedapatan berbuat zina.
Guna
memadu penyebaran agama Islam dipulau jawa, maka dilakukan upaya agar Islam dan
tradisi Jawa didamaikan satu dengan yang lainnya, serta dibangun masjid sebagai
pusat pendidikan Islam.
Dengan
kelonggaran-kelonggaran tersebut, tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan
untuk memeluk agama Islam. Bila penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan
syari’at Islam ke daerah kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan
akan melaksanakan ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada
di bawah kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin oleh Sultan Agung.
Ketika Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan
Mataram ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain
sebagainya. Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan
istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti
sebenarnya.
2.
Masa Penjajahan
Ditengah-tengah
proses transformasi sosial yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang
Barat, yaitu portugis, kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris.
Tujuannya adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang
pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada
mulanya mereka datang ke Indonesia hanya untuk menjalinkan hubungan dagang
karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi
setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan
pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam
penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan
gagasannya yang di kenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu
ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
a.
Bidang agama murni atau ibadah;
b.
Bidang sosial kemasyarakatan; dan
c.
Politik.
Terhadap
bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam
untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah Belanda.
Dalam
bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku
sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum
Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan
apabila tidak bertentangan dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi
kemandekan hukum Islam.
Sedangkan
dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam membahas hukum
Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik
kenegaraan atau ketatanegaraan.
3.
Gerakan dan organisasi Islam
Akibat
dari “resep politik
Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan abad xx umat Islam
Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga tayangan dari
pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide etimpera, politik penindasan
dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun,
ajaran Islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu
saja. Dengan pengalaman tersebut, orang Islam bangkit dengan menggunakan taktik
baru, bukan dengan perlawanan fisik tetapi dengan membangun organisasi. Oleh
karena itu, masa terakhir kekuasaan Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya
kesadaran berpolitik bagi bangsa Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan
sosial dan ekonomi, dampak dari pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran
pembaruan Islam di Mesir.
Akibat
dari situasi ini, timbullah perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah
pemikir-pemikir politik yang sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam
itu berdasarkan ideologi Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama
Islamlah yang dapat di terima dalam organisasi tersebut, para pejabat dan
pemerintahan (pangreh
praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan
antara partai-partai politik itu mengakibatkan putusnya hubungan antara
pemimpin Islam, yaitu santri dan para pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di
kalangan santri sendiri, dengan lahirnya gerakan pembaruan Islam dari Mesir
yang mengompromikan rasionalisme Barat dengan fundamentalisme Islam, telah
menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu dikalangan kaum muslimin terdapat dua
kubu: para cendekiawan Muslimin berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama
tradisional.
Selama
pendudukan jepang, pihak Jepang rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari
pada golongan nasionalis karena mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan
perang mereka. Ada tiga perantara politik berikut ini yang merupakan hasil
bentukan pemerintah Jepang yang menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
a.
Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan
Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda.
b.
Masyumi, yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin
Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943.
c.
Hizbullah, (Partai Allah dan Angkatan Allah), semacam
organisasi militer untuk pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh Zainul
Arifin.
2.3.
Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di
Indonesia
Proses
penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para
ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan
masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Hamzah Fansuri
Ia
hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590.
Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India,
Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu
fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.
2.
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau
lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H.
Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba
Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub
bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.
3.
Syaikh Abdussamad Al-Palimbani
Ia
merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan.
Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur
Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau
adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis
Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.
4.
Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau
lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan
Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir.
Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari
Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia
belajar Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid
Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad
Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada
tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia
banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang
tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di
kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan
menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.
5.
Wali Songo
Dalam
sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa terdapat
sembilan orang ulama yang memiliki peran sangat besar. Mereka dikenal dengan
sebutan wali songo.
Para
wali ini umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak dari abad ke-15 hingga
pertengahan abad ke-16. Para wali menyebarkan Islam di Jawa di tiga wilayah
penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), Demak, Kudus dan
Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah para ulama
yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai
bentuk peradaban baru seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan,
kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Adapun
wali-wali tersebut yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan
Muria.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a.
Perkembangan Islam di Indonesia adalah berkat peran
para pedagang dari Jazirah Arabia melalui jalan perdagangan, dakwah dan
perkawinan.
b.
Para ulama awal yang menyebarkan Islam di Indonesia di
antaranya yaitu; Hamzah Fansuri, Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari, Syaikh
Abdussamad Al-Palimbani, Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani dan wali
songo (Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria).
3.2. Kritik
dan Saran
Demikian pembahasan dari makalah kami. Kami berharap semoga
pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca. Dan
kami pun berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan dalam
tugas kami selanjutnya. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussamad Al-Palimbani, Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani dan wali
songo (Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria).
3.2. Kritik
dan Saran
Demikian pembahasan dari makalah kami. Kami berharap semoga
pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca. Dan
kami pun berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan dalam
tugas kami selanjutnya. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA