Sabtu, 07 November 2015


By on 19.05


PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum

Dosen Mata Kuliah Filsafat Umum : Dra. Hj. Siti Nurlaili M, M.hum

Disusun oleh :
Nama : Rizki Fauzi
Nim    : 1451313005
Kelas  : PBS 2 A

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2015



PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI

A. Pendahuluan
1.      Biografi Al-Kindi
Nama asli Al-Kindi adalah Yusuf bin Ishak dan terkenal dengan “filosof Arab”, keturunan Arab asli dan silsilah nasabnya sampai kepada Ya’kub bin Qaththan, yaitu nenek pertama suku Arabia selatan. Ayah beliau pernah menjadi gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Ar-Rasyid dan nenek-neneknya dalah raja di daerah Kindah dan sekitarnya (Arabia Selatan).[1]
Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi cikal-bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dahulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan dikagumi banyak orang.
Memperhatikan masa lahirnya, dapat diketahui bahwa Al-kindi hidup pada masa kejayaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecilnya Al-Kindi pernah merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid dimana pada masa pemerintahannya Baghdad menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat ilmu pengetahuan. Al-Rasyid wafat pada tahun 193 H (809 M) ketika Al-Kindi masih berumur 9 tahun.
Al-Kindi yang dilahirkan di Kuffah pada masa kecilnya memperoleh pada masa kecilnya memperoleh pendidikan di Bashrah. Tentang siapa guru-gurunya tidak dikenal, karena tidak terekam dalam  sejarah hidupnya. Tetapi dapat dipastikan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan kurikulum sesuai dengan kurikulum pada masanya. Ia mempelajari Al-Qur’an, membaca, menulis dan berhitung. Setelah menyelesaikan pelajaran (dasar)-nya di Bashrah, beliau melanjutkan ke Baghdad sampai tamat, ia mahir sekali dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada waktu itu.
Nama Al-Kindi menanjak setelah beliau hidup di istana pada masa pemerintahan Al-Mu’tashin yang menggantikan Al-Makmun pada tahun 218 H (833 M) karena pada waktu itu Al-Kindi dipercaya pihak istana menjadi guru pribadi putera sang raja, yaitu Ahmad bin Mu’tashim. Pada masa inilah Al-kindi berkesempatan menulis karya-karyanya, setelah masa-masa Al-Makmun menerjemahkan kitab-kitab Yunani kedalam bahasa Arab.[2]

2.      Karya-Karya Al-Kindi
Karya ilmiah Al-Kindi kebanyakan hanya berupa makalah-makalah, tetapi jumlahnya amat banyak, Ibnu Nadim, dalam kitabnya Al-Fihrits, yang dikutip dari buku karya A. Mustofa menyebutkan bahwa karya Al-Kindi Lebih dari 230 buah. Masih dari buku yang sama  George N. Atiyeh menyebutkan judul-judul makalah dan kitab-kitab karangan Al-Kindi sebanyak 270 buah.[3] Jumlah karangan yang sebenarnya sukar ditentukan karena ada dua sebab. Pertama, penulis-penulis biografi tidak sepakat dengan jumlah karangan tersebut. Ibn An-Nadim dan Al-Qafghi sebagaimana yang tertulis dalam buku karya Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad menyebutkan terdapat 238 risalah (karangan pendek), dan Sha’id Al-Andalusi masih dari buku yang sama menyebutkan terdapat 50 buah karya, sedangkan sebagian dari karangan-karangan tersebut telah hilang. Kedua, karangan-karangan yang sampai pada kita ada yang memuat karangan lain.[4]
Dalam bidang filsafat, karangan Al-kindi pernah diterbitkan oleh Prof. Abu Ridah (1950) dengan judul Rasail Al-KindiAl-Falasifah (makalah-makalah filsafat) yang berisi 29 makalah. Prof. Ahmad Fuad Al-Ahwani pernah menerbitkan makalah Al-Kindi tentang falsafat pertamanya dengan judul Kitab Al-Kindi Ila Al-Mu’tashim Billah fi-Al-Falsafah Al-Ula  (kitab Al-Kindi kapada Mu’tashim Billah tentang Falsafah Pertama).[5]
Isi karangan-karngan tersebut bermacam-macam, antar alain filsafat, logika, musik, aritmetika dan lain-lain. Al-Kindi tidak banyak membicarakan filsafat yang rumit yang telah dibahas oleh filsuf terdahulu, tetapi lebih tertarik dengan definisi-definisi dan penjelasan kata-kata, dan lebih mengutamakan ketelitian pemakaian kata daripada menyelami problem-problem filsafat. Pada umumnya karya Al-Kindi ringkas adan mendalam.   
Karangan-karangan Al-Kindi mengenai filsafat menunjukan ketelitian dan kecermatan dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Masalah-masalah filsafat yang beliau bahas meliputi epistemologi, metafisik, etika dan sebagainya. Sebagaimana penganut aliran Phythagoras, Al-Kindi juga mengatakan bahwa dengan matematika orang tidak bisa berfilsafat dengan baik. Dari karangan–karangannya dapat diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran elektisisme, dalam metafisika dan kosmologi beliau mengambil pendapat-pendapat Aristoteles dalam psikologi beliau mengambil pendapat Plato, dalam bidang etika beliau mengambil pendapat Socrates dan Plato. Meskipun demikian, kepribadian Al-Kindi sebagai filsuf muslim tetap terjaga.

B. Pembahasan
1.    Definisi filsafat Al-Kindi
Al-kindi banyak menyajikan definisi filsafat  tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang menjadi miliknya. Yang disajikan adalah definisi-definisi dari filsafat terdahulu, itu pun tanpa menegaskan dari siapa diperolehnya. Mungkin dengan menyebut berbagai definisi itu dimaksudkan bahwa pengertian yang sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang tidak hanya pada salah satunya. Definisi-definisi filsafat Al-Kindi sebagai berikut:
a)      Filsafat yang terdiri dari gabungan dua kata, philo sahabat dan shopia, kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini berdasarkan atas Yunani  dari kata-kata itu.
b)      Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat ditangkap oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi tingkah laku manusia.
c)      Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud mati adalah bercerainya jiwa dan badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh karenanya, banyak yang bijak terdahulu yang mengatakan bahwa kenikmatan adalah suatu kejahatan. Definisi ini juga merupakan definisi fungsional yang bertitik tolak pada tingkah laku manusia.
d)     Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitik beratkan pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri. Dari sinilah filosof menanamkan manusia sebagai mikrokosmos.
e)      Filsafat dalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan. Definisi ini bertitik tolak dari segi kausa.
f)       Filsafat adalah pengetahuan segala sesuatu yang abadi dan menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitik beratkan dari sudut pandang materinya.   
Al-Kindi menegaskan juga bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa dari pada semua kebenaran, yaitu yaitu filsafat pertama.[6]


2.    Agama dan Filsafat
Konsep filsafat pertama Al-Kindi menyatakan: “Yang paling luhur dan mulia diantara segala seni manusia adalah filsafat yang bertujuan menyikapi hakikat kebenaran, dan bertindak sebagai kebenaran itu sendiri.” Sama dengan Aristoteles mengklaim metafisika sebagai filsafat pertama.
Menurut Al-Kindi, filasafat harus diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Beliau mengaku konsep filsafanya berasal dari Aristetolianisme dan Neo-Platonisme, namun dengan kemasan Islam. “Harmonisasi” semacam inilah yang menjadi ciri khas filsafat Islam.[7]
Argumen-argumen yang dibawa oleh Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen-ergumen yang ditimbulkan oleh filsafat. Namun demikian munurut Al-Kindi filsafat dan Al-Qur’an tidak bertentangan kebenaran yang dibawa filsafat. Filsafat, bagi Al-Kindi, ialah pengetahuan tentang benar. Pada titik inilah terdapat kesamaan antara agama dan filsafat. Tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Tujuan ini sama dengan tujuan filsafat.

 3.   Kosmologi
Pemikiran Al-kindi tentang kosmologi sedikit berbeda dengan Aristoteles. Jika Aritoteles mengemukakan Tuhan sebagai penggerak pertama, berbeda dengan Al-Kindi yang membahasakan Tuhan sebagai Pencipta. Alam semesta ini tidak bersifat kekal pada masa lampau (qadim), tetapi memiliki permulaan. Tetapi alam semesta tidak tercipta emanasi secara langsung, melainkan melalui perantara spiritual yakni Malaikat.
Mengenai bukti adanya Tuhan Al-Kindi mengajukan argumentasi kosmologis. Barawal dari pemikiran bahwa alam ini tak terbatas, baik dari segi ukuran maupun waktunya, kemudian dibagi menjadi dua, maka muncul pertanyaan, berapa besar bagian masing-masing? Yang disebut bagian adalah harus lebuh kecil dari keseluruhan, sehingga bagian pertama terbatas, pun demikian dengan bagian kedua sama terbatasnya. Padahal sejak awal digambarkan bahwa alam bahwa alam tidak terbatas, maka hukum yang berlaku harusnya alam ini terbatas.[8]
Argumentasi lain yang dikemukakan Al-Kindi dapat dirangkum sebagai berikut: sebenarnya fenomena-fenomena empirik cukup jelas menunjukan adanya pengaturan oleh Pengatur Awal, yakni Pengatur bagi setiap pengatur, Pelaku bagi setiap pelaku, Pengada bagi setiap pengada, Yang Awal bagi setiap yang awal, dan Sebab bagi setiap sebab. Tuhan dalam konsep Al-Kindi merupakan Yang Maha Esa dalam arti sesungguhnya, dalam arti sesungguhnya, sedangkan esa-esa yang lain bersemayam dalam kosmos hayalan metafora. Keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan sedangkan esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan-kejamakan tersebut.
 
4.     Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan ada toiga macam penegetahuan manusia, yaitu: [a] pengetahuan indarawi, [b] pengatuahuan rasioanal dan [c] pengatahuan dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi.
a)      Pengetahuan Indrawi
Pengetahuan indrawi secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material. Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap karena objek yang diamatipun tidak tetap pengetahuan ini tidak menggambarkan hakikat suatu realitas.
b)      Pengetahuan Rasional
Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial. Seperti orang yang mengamati manusia, sampai menyelidiki pada hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah mahluk yang berpikir.
c)      Pengetahuan Isyraqi  
Al-Kindi mengatakan bahwa pengatahuan indrawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki hakikatnya sementara pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan species. Sebagaimana kebanyakan filosof isyraqi, mengingatkan ada jalan lain untuk memperoleh pengetahuan, yaitu lewat jalan isyraqi yang merupakan pengetahuan melalui pancaran nur illahi. Puncak jalan ini adalah apa yang diperoleh para Nabi yang membawa ajaran yang berasal dari wahyu Allah kepada umat manusia.      
     Al-Kindi juga mengatakan selain Nabi, mungkin ada yang dapat memperoleh pengetahuan isyraqi itu, meskipun derajatnya dibawah yang diperoleh Nabi yang berasal dari wahyu Tuhan.[9]

5.    Metafisika
Sebagaimana filosof Yunani dan filosof Islam lainnya, Al-Kindi selain sebagai filosof beliau juga sebagai ahli pengetahuan. Menurut Al-Kindi pengetahuan dibagi menjadi dua  bagian, yaitu: pertama, pengetahuan illahi pengetahuan ini berasal dari Tuhan seperti yang telah tercantunm dalam Al-Qur’an. Kedua pengetahuan manusiawi adalah pengetahuan yang berasal dari akal manusia.  
Argumen-argumen yang dibawa oleh Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen-ergumen yang ditimbulkan oleh filsafat. Namun demikian munurut Al-Kindi filsafat dan Al-Qur’an tidak bertentangan kebenaran yang dibawa filsafat. Filsafat, bagi Al-Kindi, ialah pengetahuan tentang benar. Pada titik inilah terdapat kesamaan antara agama dan filsafat. Tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Tujuan ini sama dengan tujuan filsafat.
Kebenaran adalah  kesucian apa yang ada dalam akal dan apa yang ada diluar akal. Yang penting bagi filsafat bukanlah juz’iyyat (particulars) yang tak terhingga banyaknya itu, tetapi ialah hakikat dari juz’iyyat itu, yaitu kulliyyat (universal, definisi). Tuhan dalam definisi filsafat Al-Kindi tidak memiliki  hakikat dalam arti aniah dan mahaniah.  Disebut tidak aniah karena tidak termasuk dalam dalam benda-benda alam, bahkan Dia adalah pencipta alam. Bukan merupakan hakikat mahaniah karena bukan merupakan genus atau species. Sebgaimana yang ada dalam paham Islam, Tuhan adalah Pencipta bukan Penggerak Utama seperti pemikiran Aristoteles.[10]      

6.    Etika
Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini ialah : keahuilah keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga :
a)    Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya pikir; bersifat teoritik yaitu mengetahu segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
b)   Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
c)    Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang tidak diperlukan untuk itu.
Kedua  keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga  hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakn padanannya adalah penganiayaan.[11]

7.     Filsafat Jiwa
Jiwa menurut al-Kindi, adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat lamanya kemudian melepaskanya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang substansinya sama dengan substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya adalah limpahan dari substansi Tuhan sebagaimana sinar matahari dengan matahari. Sekalipun ia bergabung dengan tubuh, sesunguhnya ia terpisah dan independen dari tubuh. Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa meninggalkan tempat tinggal sementaranya (tubuh) ia akan bersatu kembali dengan dunia intelek dan bersatu dengannya.
Meskipun begitu, nasib mulia ini bisa saja diingkari oleh mereka yang tertarik pada kesenangan-kesenangan jasmaniah. karena itu, tidak semua jiwa akan bergabung kembali dengan dunia akal yang ada di seberang langit. Bagi orang yang hidupnya tenggelam dalam kontemplasi dan tidak mengumbar kesenangan-kesenangan hidup, ia adalah orang bajik yang mengharapkan kehidupanya sesuai dengan Tuhan. Jiwa inilah yang langsung bergabung dengan dunia intelek begitu ia terlepas dari penjara tubuh. Tetapi bagi mereka yang terbelenggu oleh kesenangan- kesenangan jasmani maka jiwanya akan mengalami penyucian terlebih dahulu secara bertahap dengan singgah lebih dulu di bulan, Merkuri, dan planet-planet lain sehingga jiwa tersebut bersih dan pantas dibawa ke dunia akali.
     Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagi sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yangmenarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Akal memiliki analogi tertentu dengan penginderaan dalam dua hal. Satu, melepaskan bentuk-bentuk objek akali. Dua, menjadi identik dengan objek dalam tindkan berpikir. Al Kindi membedakan empat pengertian akal:
1.    Akal yang berada dalam potensialitas atau akal potensial atau materiil
2.    Akal yang telah berubah dari potensialitas ke aktualitas atau akal habitual atau habitual without practicing,
3.    Akal manifes atau habitual with practicing,
4.    Akal yang selalu aktual atau Akal Aktif atau agent.
Pembagian objek ke dalam materiil dan imateriil ini sesuai dengan pembagian filsafat ke dalam fisika dan metafisika. Entitas yang jatuh ke dalam separo jarak antara materiil dan materiil di satu sisi ia imeteriil, tetapi di sisi lain ia dapat dengan mudah berhubungan dengan materi yaitu jiwa.
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.[12]

C. Penutup
Sejarah intelektual didalam dunia Islam yang mana sumbangannya tidak dipunhgkiri, tetapi disisi lain, falsafat dianggap sebagai unsur luar yang mengacak-acak ajaran Islam. Bisa jadi, ini karena watak filsafat itu sendiri. Filsafat apapun nama dan bentuknya, adalah keberanian untuk menanyakan kebenaran-kebenaranyang dalam pandangan umum telah diyakini kebenarannya. Watak “subversif”  filsafat ini juga ditemukan dalam filsafat Islam.  
       Al-kindi adalah seorang filosof Islam pertama yang juga merupakan folosof Arab pertama. Dalam mengembangkan filsafatnya Al-Kindi mengikuti falsafah Aritoteles.



DAFTAR PUSTAKA
Beni Ahmad Saebani, Atang Abdulah Hakim. Filsafat Umum dari Mitilogi sampai Teofisologi. Bandung: CV.Pustaka Setia. 2008
Drajat Amroeni. Filasafat Islam: Buat yang Pengan Tahu. Jakarta: Erlangga. 2006
Maftukhin. Filsafat Islam Teras: Yogyakarta. 2012.
Mustofa A. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2007

 


[1]Atang Abdulah Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Mitilogi sampai Teofisologi, (Bandung: CV.Pustaka Setia. 2008), hlm. 440.
[2]A Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV Pustak a Setia, 2007),  hlm. 100-101.
[3]Ibid. hlm. 102.
[4]Atang Abdulah Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Mitilogi sampai Teofisologi,  (Bandung: CV.Pustaka Setia. 2008), hlm. 441.

[5]A Mustofa, Filsafat Islam, hlm. 102.
[6] Ibid, hlm. 102-104.
[7]Amroeni Drajat, Filasafat Islam: Buat yang Pengan Tahu, (Jakarta: Erlangga. 2006), hlm. 11-12.  
 [8]Ibid. hlm. 14-15.
[9]Maftukhin, Filsafat Islam, (Teras: Yogyakarta. 2012), hlm. 82-85.      
[10]Ibid. hlm. 86-88.

About Syed Faizan Ali

Faizan is a 17 year old young guy who is blessed with the art of Blogging,He love to Blog day in and day out,He is a Website Designer and a Certified Graphics Designer.

0 komentar:

Posting Komentar