PEMIKIRAN
FILSAFAT AL-KINDI
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen Mata Kuliah Filsafat Umum :
Dra. Hj. Siti Nurlaili M, M.hum
Disusun oleh :
Nama
: Rizki Fauzi
Nim :
1451313005
Kelas
: PBS 2 A
JURUSAN
PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2015
PEMIKIRAN
FILSAFAT AL-KINDI
A. Pendahuluan
1.
Biografi Al-Kindi
Nama asli Al-Kindi adalah Yusuf bin Ishak dan
terkenal dengan “filosof Arab”, keturunan Arab asli dan silsilah nasabnya
sampai kepada Ya’kub bin Qaththan, yaitu nenek pertama suku Arabia selatan.
Ayah beliau pernah menjadi gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan
Harun Ar-Rasyid dan nenek-neneknya dalah raja di daerah Kindah dan sekitarnya
(Arabia Selatan).[1]
Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi
cikal-bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah
yang sejak dahulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki
apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan dikagumi banyak orang.
Memperhatikan masa lahirnya, dapat diketahui bahwa
Al-kindi hidup pada masa kejayaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecilnya Al-Kindi
pernah merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid dimana pada masa
pemerintahannya Baghdad menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat ilmu
pengetahuan. Al-Rasyid wafat pada tahun 193 H (809 M) ketika Al-Kindi masih
berumur 9 tahun.
Al-Kindi yang dilahirkan di Kuffah pada masa kecilnya
memperoleh pada masa kecilnya memperoleh pendidikan di Bashrah. Tentang siapa
guru-gurunya tidak dikenal, karena tidak terekam dalam sejarah hidupnya. Tetapi dapat dipastikan ia
mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan kurikulum sesuai dengan kurikulum pada
masanya. Ia mempelajari Al-Qur’an, membaca, menulis dan berhitung. Setelah
menyelesaikan pelajaran (dasar)-nya di Bashrah, beliau melanjutkan ke Baghdad
sampai tamat, ia mahir sekali dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada
waktu itu.
Nama Al-Kindi menanjak setelah beliau hidup di
istana pada masa pemerintahan Al-Mu’tashin yang menggantikan Al-Makmun pada tahun
218 H (833 M) karena pada waktu itu Al-Kindi dipercaya pihak istana menjadi
guru pribadi putera sang raja, yaitu Ahmad bin Mu’tashim. Pada masa inilah
Al-kindi berkesempatan menulis karya-karyanya, setelah masa-masa Al-Makmun
menerjemahkan kitab-kitab Yunani kedalam bahasa Arab.[2]
2. Karya-Karya
Al-Kindi
Karya ilmiah Al-Kindi kebanyakan hanya berupa
makalah-makalah, tetapi jumlahnya amat banyak, Ibnu Nadim, dalam kitabnya Al-Fihrits, yang dikutip dari buku karya
A. Mustofa menyebutkan bahwa karya Al-Kindi Lebih dari 230 buah. Masih dari
buku yang sama George N. Atiyeh
menyebutkan judul-judul makalah dan kitab-kitab karangan Al-Kindi sebanyak 270
buah.[3]
Jumlah karangan yang sebenarnya sukar ditentukan karena ada dua sebab. Pertama, penulis-penulis biografi tidak
sepakat dengan jumlah karangan tersebut. Ibn An-Nadim dan Al-Qafghi sebagaimana
yang tertulis dalam buku karya Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad menyebutkan
terdapat 238 risalah (karangan pendek), dan Sha’id Al-Andalusi masih dari buku
yang sama menyebutkan terdapat 50 buah karya, sedangkan sebagian dari
karangan-karangan tersebut telah hilang. Kedua,
karangan-karangan yang sampai pada kita ada yang memuat karangan lain.[4]
Dalam bidang filsafat, karangan Al-kindi pernah
diterbitkan oleh Prof. Abu Ridah (1950) dengan judul Rasail Al-KindiAl-Falasifah (makalah-makalah filsafat) yang berisi
29 makalah. Prof. Ahmad Fuad Al-Ahwani pernah menerbitkan makalah Al-Kindi
tentang falsafat pertamanya dengan judul Kitab
Al-Kindi Ila Al-Mu’tashim Billah fi-Al-Falsafah Al-Ula (kitab Al-Kindi kapada Mu’tashim Billah tentang Falsafah Pertama).[5]
Isi karangan-karngan tersebut bermacam-macam, antar alain
filsafat, logika, musik, aritmetika dan lain-lain. Al-Kindi tidak banyak
membicarakan filsafat yang rumit yang telah dibahas oleh filsuf terdahulu,
tetapi lebih tertarik dengan definisi-definisi dan penjelasan kata-kata, dan
lebih mengutamakan ketelitian pemakaian kata daripada menyelami problem-problem
filsafat. Pada umumnya karya Al-Kindi ringkas adan mendalam.
Karangan-karangan Al-Kindi mengenai filsafat
menunjukan ketelitian dan kecermatan dalam memberikan batasan-batasan makna
istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat.
Masalah-masalah filsafat yang beliau bahas meliputi epistemologi, metafisik,
etika dan sebagainya. Sebagaimana penganut aliran Phythagoras, Al-Kindi juga
mengatakan bahwa dengan matematika orang tidak bisa berfilsafat dengan baik.
Dari karangan–karangannya dapat diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran
elektisisme, dalam metafisika dan
kosmologi beliau mengambil pendapat-pendapat Aristoteles dalam psikologi beliau
mengambil pendapat Plato, dalam bidang etika beliau mengambil pendapat Socrates
dan Plato. Meskipun demikian, kepribadian Al-Kindi sebagai filsuf muslim tetap
terjaga.
B. Pembahasan
1. Definisi filsafat Al-Kindi
Al-kindi banyak menyajikan definisi
filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi
mana yang menjadi miliknya. Yang disajikan adalah definisi-definisi dari
filsafat terdahulu, itu pun tanpa menegaskan dari siapa diperolehnya. Mungkin
dengan menyebut berbagai definisi itu dimaksudkan bahwa pengertian yang
sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang tidak hanya pada salah satunya.
Definisi-definisi filsafat Al-Kindi sebagai berikut:
a)
Filsafat yang terdiri dari gabungan dua
kata, philo sahabat dan shopia, kebijaksanaan. Filsafat adalah
cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini berdasarkan atas Yunani dari kata-kata itu.
b)
Filsafat adalah upaya manusia meneladani
perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat ditangkap oleh kemampuan akal manusia.
Definisi ini merupakan definisi fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi
tingkah laku manusia.
c)
Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang
dimaksud mati adalah bercerainya jiwa dan badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah
mencapai keutamaan. Oleh karenanya, banyak yang bijak terdahulu yang mengatakan
bahwa kenikmatan adalah suatu kejahatan. Definisi ini juga merupakan definisi
fungsional yang bertitik tolak pada tingkah laku manusia.
d)
Filsafat adalah pengetahuan manusia
tentang dirinya. Definisi ini menitik beratkan pada fungsi filsafat sebagai
upaya manusia untuk sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri. Dari
sinilah filosof menanamkan manusia sebagai mikrokosmos.
e)
Filsafat dalah pengetahuan dari segala
pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan. Definisi ini bertitik
tolak dari segi kausa.
f)
Filsafat adalah pengetahuan segala
sesuatu yang abadi dan menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya.
Definisi ini menitik beratkan dari sudut pandang materinya.
Al-Kindi menegaskan juga bahwa filsafat
yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui
kebenaran yang pertama, kausa dari pada semua kebenaran, yaitu yaitu filsafat
pertama.[6]
2. Agama dan Filsafat
Konsep filsafat pertama Al-Kindi
menyatakan: “Yang paling luhur dan mulia diantara segala seni manusia adalah
filsafat yang bertujuan menyikapi hakikat kebenaran, dan bertindak sebagai
kebenaran itu sendiri.” Sama dengan Aristoteles mengklaim metafisika sebagai
filsafat pertama.
Menurut Al-Kindi, filasafat harus diterima sebagai
bagian dari peradaban Islam. Beliau mengaku konsep filsafanya berasal dari
Aristetolianisme dan Neo-Platonisme, namun dengan kemasan Islam. “Harmonisasi”
semacam inilah yang menjadi ciri khas filsafat Islam.[7]
Argumen-argumen yang dibawa oleh Al-Qur’an
lebih meyakinkan daripada argumen-ergumen yang ditimbulkan oleh filsafat. Namun
demikian munurut Al-Kindi filsafat dan Al-Qur’an tidak bertentangan kebenaran
yang dibawa filsafat. Filsafat, bagi Al-Kindi, ialah pengetahuan tentang benar.
Pada titik inilah terdapat kesamaan antara agama dan filsafat. Tujuan agama
adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Tujuan ini sama dengan
tujuan filsafat.
3. Kosmologi
Pemikiran Al-kindi tentang
kosmologi sedikit berbeda dengan Aristoteles. Jika Aritoteles mengemukakan
Tuhan sebagai penggerak pertama, berbeda dengan Al-Kindi yang membahasakan
Tuhan sebagai Pencipta. Alam semesta ini tidak bersifat kekal pada masa lampau
(qadim), tetapi memiliki permulaan.
Tetapi alam semesta tidak tercipta emanasi secara langsung, melainkan melalui
perantara spiritual yakni Malaikat.
Mengenai bukti adanya Tuhan
Al-Kindi mengajukan argumentasi kosmologis. Barawal dari pemikiran bahwa alam
ini tak terbatas, baik dari segi ukuran maupun waktunya, kemudian dibagi menjadi
dua, maka muncul pertanyaan, berapa besar bagian masing-masing? Yang disebut
bagian adalah harus lebuh kecil dari keseluruhan, sehingga bagian pertama
terbatas, pun demikian dengan bagian kedua sama terbatasnya. Padahal sejak awal
digambarkan bahwa alam bahwa alam tidak terbatas, maka hukum yang berlaku
harusnya alam ini terbatas.[8]
Argumentasi lain yang dikemukakan
Al-Kindi dapat dirangkum sebagai berikut: sebenarnya fenomena-fenomena empirik
cukup jelas menunjukan adanya pengaturan oleh Pengatur Awal, yakni Pengatur
bagi setiap pengatur, Pelaku bagi setiap pelaku, Pengada bagi setiap pengada,
Yang Awal bagi setiap yang awal, dan Sebab bagi setiap sebab. Tuhan dalam
konsep Al-Kindi merupakan Yang Maha Esa dalam arti sesungguhnya, dalam arti
sesungguhnya, sedangkan esa-esa yang lain bersemayam dalam kosmos hayalan
metafora. Keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan sedangkan esa-esa yang lain tidak
sunyi dari kejamakan-kejamakan tersebut.
4. Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan ada toiga
macam penegetahuan manusia, yaitu: [a] pengetahuan indarawi, [b] pengatuahuan
rasioanal dan [c] pengatahuan dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi.
a) Pengetahuan
Indrawi
Pengetahuan indrawi
secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material.
Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap karena objek yang
diamatipun tidak tetap pengetahuan ini tidak menggambarkan hakikat suatu
realitas.
b) Pengetahuan
Rasional
Pengetahuan yang
diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan
bersifat immaterial. Seperti orang yang mengamati manusia, sampai menyelidiki
pada hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah mahluk
yang berpikir.
c) Pengetahuan
Isyraqi
Al-Kindi
mengatakan bahwa pengatahuan indrawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan
yang hakiki hakikatnya sementara pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan
tentang genus dan species. Sebagaimana kebanyakan filosof isyraqi, mengingatkan ada jalan lain
untuk memperoleh pengetahuan, yaitu lewat jalan isyraqi yang merupakan pengetahuan melalui pancaran nur illahi.
Puncak jalan ini adalah apa yang diperoleh para Nabi yang membawa ajaran yang
berasal dari wahyu Allah kepada umat manusia.
Al-Kindi
juga mengatakan selain Nabi, mungkin ada yang dapat memperoleh pengetahuan isyraqi itu, meskipun derajatnya dibawah
yang diperoleh Nabi yang berasal dari wahyu Tuhan.[9]
5. Metafisika
Sebagaimana filosof Yunani dan
filosof Islam lainnya, Al-Kindi selain sebagai filosof beliau juga sebagai ahli
pengetahuan. Menurut Al-Kindi pengetahuan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama, pengetahuan illahi
pengetahuan ini berasal dari Tuhan seperti yang telah tercantunm dalam
Al-Qur’an. Kedua pengetahuan
manusiawi adalah pengetahuan yang berasal dari akal manusia.
Argumen-argumen yang dibawa oleh
Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen-ergumen yang ditimbulkan oleh
filsafat. Namun demikian munurut Al-Kindi filsafat dan Al-Qur’an tidak
bertentangan kebenaran yang dibawa filsafat. Filsafat, bagi Al-Kindi, ialah
pengetahuan tentang benar. Pada titik inilah terdapat kesamaan antara agama dan
filsafat. Tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik.
Tujuan ini sama dengan tujuan filsafat.
Kebenaran adalah kesucian apa yang ada dalam akal dan apa yang
ada diluar akal. Yang penting bagi filsafat bukanlah juz’iyyat (particulars)
yang tak terhingga banyaknya itu, tetapi ialah hakikat dari juz’iyyat itu, yaitu kulliyyat (universal, definisi). Tuhan
dalam definisi filsafat Al-Kindi tidak memiliki
hakikat dalam arti aniah dan mahaniah. Disebut tidak aniah karena tidak termasuk dalam dalam benda-benda alam, bahkan
Dia adalah pencipta alam. Bukan merupakan hakikat mahaniah karena bukan merupakan genus
atau species. Sebgaimana yang ada
dalam paham Islam, Tuhan adalah Pencipta bukan Penggerak Utama seperti
pemikiran Aristoteles.[10]
6. Etika
Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat
atau cita filsafat. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan
sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan definisi
ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi
yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu,
dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan
hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah
berarti meningggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk
menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana cara untuk
mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini
ialah : keahuilah keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan
keutamaan itu.
Al-Kindi
berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini
kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan
asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan
perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga :
a) Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya pikir; bersifat teoritik yaitu mengetahu segala sesuatu yang
bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan
yang wajib dipergunakan.
b) Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah;
passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang
ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang harus dicapai dan menolak
yang harus ditolak.
c) Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang
harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang
tidak diperlukan untuk itu.
Kedua keutamaan-keutamaan manusia
tidak terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari
tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam
keadilan. Penistaan yang merupakn padanannya adalah penganiayaan.[11]
7. Filsafat Jiwa
Jiwa
menurut al-Kindi, adalah prinsip kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik
untuk beberapa saat lamanya kemudian melepaskanya. Jiwa merupakan entitas
tunggal yang substansinya sama dengan substansi pencipta sendiri karena ia
sesungguhnya adalah limpahan dari substansi Tuhan sebagaimana sinar matahari
dengan matahari. Sekalipun ia bergabung dengan tubuh, sesunguhnya ia terpisah
dan independen dari tubuh. Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika
jiwa meninggalkan tempat tinggal sementaranya (tubuh) ia akan bersatu kembali
dengan dunia intelek dan bersatu dengannya.
Meskipun
begitu, nasib mulia ini bisa saja diingkari oleh mereka yang tertarik pada
kesenangan-kesenangan jasmaniah. karena itu, tidak semua jiwa akan bergabung
kembali dengan dunia akal yang ada di seberang langit. Bagi orang yang hidupnya
tenggelam dalam kontemplasi dan tidak mengumbar kesenangan-kesenangan hidup, ia
adalah orang bajik yang mengharapkan kehidupanya sesuai dengan Tuhan. Jiwa
inilah yang langsung bergabung dengan dunia intelek begitu ia terlepas dari
penjara tubuh. Tetapi bagi mereka yang terbelenggu oleh kesenangan- kesenangan
jasmani maka jiwanya akan mengalami penyucian terlebih dahulu secara bertahap
dengan singgah lebih dulu di bulan, Merkuri, dan planet-planet lain sehingga
jiwa tersebut bersih dan pantas dibawa ke dunia akali.
Al-Kindi membagi daya
jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible),
dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini
dengan mengibaratkan daya berpikir sebagi sais kereta dan dua kekuatan lainnya
(pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yangmenarik kereta tersebut. Jika
akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat
dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh
dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing
dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka
diibaratkan sebagai raja.
Akal memiliki analogi tertentu dengan
penginderaan dalam dua hal. Satu, melepaskan bentuk-bentuk objek akali. Dua, menjadi identik
dengan objek dalam tindkan berpikir. Al Kindi membedakan empat pengertian akal:
1. Akal yang berada dalam potensialitas atau akal potensial atau materiil
2. Akal yang telah berubah dari potensialitas ke aktualitas atau akal
habitual atau habitual without practicing,
3. Akal manifes atau habitual with practicing,
4. Akal yang selalu aktual atau Akal Aktif atau agent.
Pembagian objek ke dalam materiil dan
imateriil ini sesuai dengan pembagian filsafat ke dalam fisika dan metafisika.
Entitas yang jatuh ke dalam separo jarak antara materiil dan materiil di satu
sisi ia imeteriil, tetapi di sisi lain ia dapat dengan mudah berhubungan dengan
materi yaitu jiwa.
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak
tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal
dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya
dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan
berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah.
Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling
memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan
ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang
melarang tidak sama dengan yang dilarang.[12]
C. Penutup
Sejarah intelektual didalam dunia Islam yang mana
sumbangannya tidak dipunhgkiri, tetapi disisi lain, falsafat dianggap sebagai
unsur luar yang mengacak-acak ajaran Islam. Bisa jadi, ini karena watak
filsafat itu sendiri. Filsafat apapun nama dan bentuknya, adalah keberanian
untuk menanyakan kebenaran-kebenaranyang dalam pandangan umum telah diyakini
kebenarannya. Watak “subversif” filsafat
ini juga ditemukan dalam filsafat Islam.
Al-kindi adalah seorang filosof Islam
pertama yang juga merupakan folosof Arab pertama. Dalam mengembangkan
filsafatnya Al-Kindi mengikuti falsafah Aritoteles.
DAFTAR
PUSTAKA
Beni Ahmad Saebani, Atang Abdulah Hakim.
Filsafat Umum dari Mitilogi sampai
Teofisologi. Bandung: CV.Pustaka Setia. 2008
Drajat Amroeni. Filasafat Islam: Buat yang Pengan Tahu. Jakarta: Erlangga. 2006
Maftukhin.
Filsafat Islam Teras: Yogyakarta. 2012.
Mustofa A. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
2007
[1]Atang Abdulah Hakim, Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Umum dari Mitilogi
sampai Teofisologi, (Bandung: CV.Pustaka Setia. 2008), hlm. 440.
[2]A Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV Pustak a Setia, 2007), hlm. 100-101.
[4]Atang Abdulah Hakim, Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Umum dari Mitilogi
sampai Teofisologi, (Bandung:
CV.Pustaka Setia. 2008), hlm. 441.
[5]A Mustofa, Filsafat Islam, hlm. 102.
[6] Ibid, hlm. 102-104.
[7]Amroeni Drajat, Filasafat Islam: Buat yang Pengan Tahu,
(Jakarta: Erlangga. 2006), hlm. 11-12.
[9]Maftukhin, Filsafat Islam, (Teras:
Yogyakarta. 2012), hlm. 82-85.
0 komentar:
Posting Komentar