Macapat Sebagai Warisan Wali Sanga
Bab
I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Penyebaran Islam di tanah Jawa tidak
lepas dari sepak terjang para sembilan wali atau masyarakat Jawa sering
menyebut wali songo. Wali songo diyakini sebagai ulama penyebar agama islam
pertama di tanah jawa. Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa para wali di
kenal sering menggunakan pendekatan budaya dan kebiasaan masyarakat sekitar.
Para sunan atau wali dikenal sangat
pintar dalam berdakwah dan mengambil hati masyarakat, dengan menggabungkan
antara kesenian dan kaidah-kaidah islam. Berkat kepiawayan para sunan dalam
berdakwah membuat para masyarakat di pulau jawa tertarik untuk memeluk islam
hingga berlanjut sampai saat ini.
Hal tersebut yang menjadi latar belakang
kami memilih macapat sebagai fokus riset kami dimana tidak hanya sebagai
tembang macapat juga memiliki misi terselubung sebagai media dakwah yang
efektif pada masa wali sanga saat menyebarkan ajaran Isalam ditanah Jawa.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
arti etimologi macapat ?
2. Bagaimana
sejarah terciptanya macapat ?
3. Apa
alasan diciptakannya macapat ?
4. Apa
jenis-jenis tembang macapat ?
5. Bagaimana
struktur tembang macapat ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui etimologi macapat.
2.
Mengetahui sejarah penciptaan macapat
dan alasan penciptaannya.
3.
Mengetahui makna dari tiap-tiap jenis
macapat.
Bab
II
Pembahasan
A.
Etimologi Macapat
Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca
papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap
empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada
pula. Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di
dalam bukunya Tembang in two traditions.
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya
ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam
aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang
oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang
artinya ialah “melagukan nada keempat”. Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi
maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon maca-sa termasuk kategori
tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan
diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata ini termasuk
kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk tipe
tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara
jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh
Yogiswara.
Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang
tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan
disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya,
macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada
semua wali.
B.
Sejarah Macapat
Macapat sebagai sebutan puisi
jawa pertengahan dan jawa baru, yang hingga kini masih digemari masyarakat,
ternyata sulit dilacak sejarah penciptaanya. Menurut narasumber, berpendapat
bahwa tembang macapat digunakan pada awal periode Islam.
Karseno Saputra
memperkirakan atas dasar analisis terhadap beberapa pendapat beberapa pendapat
dan pernyataan. Apabila pola metrum yang digunakan pada tembang macapat sama
dengan pola metrum tembang tengahan dan tembang macapat tumbuh berkembang
sejalan dengan tembang tengahan, maka diperkirakan tembang macapat telah hadir
dikalangan masyarakat peminat setidak-tidaknya pada tahun 1541 masehi.
Perkiraan itu atas dasar angka tahun yang terdapat pada kidung Subrata, Juga
Rasa Dadi Jalma = 1643 J atau 1541 masehi. (Saputra, 1992 : 14 )
Penentuan ini berpangkal
pijak dari pola metrum macapat yang paling awal yang terdapat pada kidung
Subrata. Sekitar tahun itu hidup berkembang puisi berbahasa jawa kuno, jawa
tengahan dan jawa baru yaitu kekawin, kidung dan macapat. Tahun perkiraan itu
sesuai pula dengan pendapat Zoetmulder lebih kurang pada abad XVI di jawa hidup
bersama tiga bahasa, yaitu jawa kuno, jawa tengahan dan jawa baru.
Dalam Mbombong manah I (
Tejdohadi Sumarto, 1958 : 5 ) disebutkan bahwa tembang macapat ( yang mencakup
11 metrum ) di ciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaransari di
Sigaluh pada tahun Jawa 1191 atau tahun Masehi 1279. Tetapi menurut sumber
lain, tampaknya macapat tidak hanya diciptakan oleh satu orang, tetapi oleh
beberapa orang wali dan bangsawan. ( Laginem, 1996 : 27 ). Para pencipta itu
adalah Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati,
Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng,
Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra dan Adipati Nata Praja.
C.
Alasan Penciptaan Macapat
Mengajarkan sebuah keyakinan baru kepada sekelompok
orang (suku bangsa) bukanlah perkara yang mudah apalagi jika kelompok (suku
bangsa) tersebut sudah memiliki keyakinan yang telah sangat lama dianut hingga
berpuluh-puluh generasi. Hal itu pernah dirasakan Wali Sanga dalam mengajarkan
Islam ditanah Jawa mereka harus memutar
menggunakan metode dakwah yang tidak biasa agar ajaran Islam bisa diterima
mengingat saat itu ajaran Hindu dan Budha masih sangat kental dan juga tradisi
masyarakat yang masih banyhak memegang teguh dengan adat warisan nenk monyang (kejawen) yang notabene banyak yang
menyimpang dari ajaran Islam. Maka para Sunan atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Wali Sanga.
Menurut sumber yang kami dapat dari seorang
narasumber para Sunan menciptakan macapat menciptakan macapat karena
terinspirasi dari masyarakat sekitar yang gemar dengan seni seperti tarian,
syair, sampai dengan pagelaran-pagelaran seperti wayang dan pertunjukan seni
lainnya. Oleh karena itu para Sunan menciptakan sebuah tembang yang didalamnya
terdapat makna alur kehidupan tidak lupa dibumbui dengan ajaran-ajaran Islam
yang terdapat pada lirik dan syairnya agar dapat menarik hati masyarakat pada
saat itu.
D.
Jenis-Jenis Tembang Macapat
1.
Maskumambang (dalam kandungan)
Dalam bahasa jawa “kumambang” berarti
mengambang. Tembang ini menggambarkan kehidupan manusia yang masih ada di dalam
kandungan, yaitu di perut ibunya.
2.
mijil (lahir)
Dalam bahsa jawa “mijil” berarti muncul
atau lahir. Tembang ini menggambarkan kelahiran bayi.
3.
sinom (muda)
Dalam bahasa jawa ”kanoman” berarti masa
muda. Tembang ini menggambarkan masa muda yang indah penuh dengan harapan,
angan-angan, dan mencari ilmu untuk mewujudkannya.
4.
kinanthi (tuntutan)
Dalam
bahsa jawa “kanthi” berartituntutan atau dituntut untuk menggapai masa depan.
Tembang ini menggambarkan masa dimana manusia membentuk jati diri dan meniti
jalan menuju cita-cita.
5.
Asmarandana (asmara)
Dalam
bahasa jawa “tresna” berarti cinta atau kasmaran. Tembang ini menggambarkan
dimana manusia dirundung asmara.
6.
Gambuh (cocok)
Dalam
bahasa jawa “jumbuh” berarti cocok. Tembang ini menggambarkan komitmen manusia
yang sudah menyatakan cinta dan siap untuk berumah tangga.
7.
Dhandanggula (senang)
Dalam
bahasa jawa “kasembadan” berarti kesenangan. Tembang ini menggambarkan
keberhasilan seseorang dalam membina rumah tangga.
8.
durma (dermawan)
Dalam
bahsa jawa “darma” berarti dermawan atau senang bersedekah. Tembang ini
menggambarkan wujud dari rasa syukur manusia kepada Allah SWT yang telah
memberikan kehidupan yang terbaik.
9.
Pangkur(Menjauh)
Dalam
bahasa jawa “mangkur” berarti menjauhi. Tembang ini menggambarkan manusia yang
berusaha menjauhi hawa nafsu angkara murka dan nafsu negatif yang menggerogoti jiwa manusia.
10.Megatruh(kematian)
Dalam
bahasa jawa “megat roh” berarti keluarnya roh. Tembang ini menggambarkan
terlepasnya dari raga manusia.
11.
Pocung(dibungkus kain putih)
Dalam
nahasa jawa “pocong” berarti dibungkus. Tembang ini menggambarkan manusia yang
sudah mati kemudian dimandikan, disholatkan, dikafankan, dan siap untuk
dikuburkan.
12.
Wirangrong(dimasukan kedalam tanah)
Dalam
bahasa jawa “ngerong” berarti didalam tanah. Tembang ini menggambarkan manusia
yang sudah dipocong kemudian dimasukkan ke dalam tanah.
E.
Struktur Tembang Macapat
Dalam khasanah budaya Jawa salah satu kekayaan yang
hingga kini masih dapat kita nikmati adalah ragam seni suara dalam bentuk
tembang/lagu. Sekilas, menurut sejarahnya, tembang dalam budaya Jawa terbagi
menjadi beberapa bagian seturut dengan zaman kemunculannya. Macam-macam tembang
Jawa tradisional tersebut adalah: Sekar Kakawin, Sekar Ageng, Sekar Tengahan,
Sekar Macapat, Tembang Dolanan Gagrag Lawas dan Gagrag Énggal. Dalam
perkembangannya, khasanah lagu/tembang kini semakin beraneka ragam dengan
munculnya tembang-tembang baru sesuai dengan masuknya aneka genre musik yang
sedikit banyak juga turut memperkaya keberadaan tembang-tembang Jawa.
Dalam kesempatan ini saya akan mencoba membantu
memperkenalkan salah satu jenis tembang klasik tradisional Jawa, yaitu
Sekar/Tembang Macapat. Agar lebih jelas dan menarik, maka di awal tulisan saya
ini sengaja saya akan menyampaikan contoh-contoh serta aturan pembuatan sebuah
tembang Macapat. Dalam tembang Macapat dikenal beberapa istilah yang digunakan
sebagai acuan dalam membuat/menggubah sebuah tembang. Adapun istilah-istilah
beserta pengertian sederhananya adalah sebagai berikut:
1.
Wilangan/Guru Wilangan : jumlah suku kata dalam sebuah kalimat
2. Guru Lagu/Dhong-dhing : huruf vokal/bunyi yang
terdapat pada suku kata terakhir pada suatu
baris kalimat lagu
3.
Gatra : jumlah kalimat/baris yang terdapat dalam satu bait lagu
4.
Pupuh : bait lagu
Di dalam tembang Macapat terdapat 11 jenis/ragam
tembang. Masing-masing memiliki nama, ciri khas, perwatakan, dan peruntukan
tersendiri. Namun bahasan kali ini hanya akan saya batasi tentang jenis/ragam
tembang yang termasuk tembang Macapat beserta aturan bakunya saja (penentuan
jumlah gatra, wilangan dan guru lagu). Kesebelas tembang yang termasuk di dalam
Sekar Macapat tersebut adalah sekar/tembang: Pocung, Maskumambang, Gambuh,
Megatruh, Mijil, Kinanthi, Pangkur, Durma, Asmaradana, Sinom, dan
Dhandhanggula.
Sebagai pemahaman awal, perlu saya sampaikan bahwa
aturan baku tembang Macapat yang berupa aturan jumlah gatra/larik/kalimat, guru
wilangan maupun guru lagu dari masing-masing tembang sudah merupakan ketentuan
baku yang tidak bisa diubah. Untuk mempermudah, pada masing-masing tembang akan
saya sertakan keterangan jumlah gatra dalam satu pupuh/bait. Sedangkan
keterangan di belakang masing-masing larik/baris yang berupa angka dan huruf
vokal menunjukkan jumlah guru wilangan dan guru lagu.
Disamping itu, keindahan tembang Jawa, terutama
Sekar Macapat juga terletak pada keindahan penempatan dan pemilihan kata.
Sebagai contoh sekaligus acuan untuk membuat tembang Macapat, berikut ini kami tuliskan
ragam tembang Macapat.
1.
POCUNG
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 4 gatra
Contoh:
Mapan
éwuh tinitah dadi kang sepuh (12u)
Tan
kena gumampang (6a)
Nadyan
marang saduluré (8e)
Tuwa
anom aja béda traping karya (12a)
2.
MASKUMAMBANG
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 4 gatra
Contoh:
Kang
tan manut pitutur wong tuwa ugi (12i)
Panemu
duraka (6a)
Ing
donya tumekèng akir (8i)
Tan
wurung kasurang-surang (8a)
3.
GAMBUH
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 5 gatra
Contoh:
Sekar
Gambuh ping catur (7u)
Kang
cinatur tutur kang kalantur (10u)
Tanpa
tutur katula-tula katali (12i)
Kadaluwarsa
kapatuh (8u)
Kapatuh
pan dadi awon (8o)
4.
MEGATRUH
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 5 gatra
Contoh:
Yèn
Suwanda baé yayi kang kadulu (12u)
Sasrabahu
kang kaèksi (8i)
Yèn
Sasrabahu kadulu (8u)
Suwanda
datan kaèksi (8i)
Dèn
awas panunggal loro (8o)
5.
MIJIL
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 6 gatra
Contoh:
Apan
uwus ubayèng narpati (10i)
Rumeksèng
kaprabon (6o)
Kang
wus tetep rumeksa ing akèh (10e)
Kalaraning
praja dèn pakéling (10i)
Larapana
ing sih (6i)
Wadya
saprajèku (6u)
6.
KINANTHI
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 6 gatra
Contoh:
Pinandeng
sarwi tumungkul (8u)
Anoman
ngiling-ilingi (8i)
Sarta
myarsakken karuna ((8a)
Sumedhot
tyasira nenggih (8i)
Iya
iki apa baya (8a)
Kusuma
Putri Manthili (8i)
7.
PANGKUR
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 7 gatra
Contoh:
Lawan
ambegé sadaya (8a)
Wregung
alit ambeg sapati urip (11i)
Ratuné
wre wus angratu (8u)
Ring
Sang Rama Wijaya (7a)
Ciptanira
lebur luluh ing satuduh (12u)
Rama
ingaken Jawata (8a)
Sungkemé
ing pati urip (8i)
8.
DURMA
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 7 gatra
Contoh:
Kadya
pinuh sariranya déning kang rah (12a)
Wauta
Sang Apekik (7i)
Regawa
kumesar (6a)
Muring
ring tyas mangarang (7a)
Marang
ngendi sira yayi (8i)
Jurang
hingungak (5a)
Manawa
tibèng trebis (7i)
9.
ASMARADANA / ASMARANDANA
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 7 gatra
Contoh:
Katon
asihira yayi (8i)
Tresna
maring kadang tuwa (8a)
Iya
sapa kaya kowé (8e)
Wus
kèthèr isining jagad (8a)
Tumon
kasektènira (7a)
Dasamuka
wusnya wuwus (8u)
Kang
rayi lon aturipun (8u)
10.
SINOM
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 9 gatra
Contoh:
Wong
Agung Rama Wijaya (8a)
Mangunèng
tyas tan pinanggih (8i)
Tan
ana wenganing driya (8a)
Déné
kalangan jaladri (8i)
Ènget
pandhita nguni (7i)
Sutikna
Yogi turipun (8u)
Bésuk
pan kalampahan (7a)
Angadoni
jayèng jurit (8i)
Mring
Ngaléngka sedhih kalangan samodra (12a)
11.
DHANDHANGGULA
Jumlah
gatra dalam 1 pupuh: 10 gatra
Contoh:
Sasmitaning
aurip puniki (10i)
Apan
éwuh yèn ora weruha (10a)
Tan
jumeneng ing uripé (8e)
Akèh
kang ngaku-aku (7u)
Pangrasané
sampun udani (9i)
Tur
durung wruh ing rasa (7a)
Rasa
kang satuhu (6u)
Rasaning
rasa punika (8a)
Upayanen
dara pan sampurna ugi (12i)
Ing
kauripanira (7a)
Catatan:
Untuk
memperindah serta menyesuaikan dengan guru wilangan, maka di dalam membuat
Sekar Macapat seringkali ada kata-kata yang digabungkan, atau dicarikan
padanannya.
Contoh
penggabungan:
nuju
ing à nujwèng
suka
ing à sukèng
madyaning
à madyèng
Contoh
padanan:
samodra
= jalanidhi = jaladri
manungsa
= wong = jalmi
roh
= suksma
Gusti
= Hyang Widi = Hyang Ma Wasésa
Casino Online: $1 BONUS for first time in US$1! | JDH Hub
BalasHapusCasino 의정부 출장안마 Online: 전주 출장마사지 $1 BONUS for first time in US$1! Play exciting 익산 출장샵 casino games like blackjack, roulette, video poker, and 경기도 출장안마 slots. 속초 출장샵