Kamis, 05 November 2015


By on 01.51


ILMU RIJALUL HADITS

Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: H. Muh. Aji Nugroho, Lc., M.Pd.I.

Disusun Oleh:
Muhammad Reza     (145131004)
Sintia Sedep Sayekti            (145131018)
Betti Aprillinasari    (145131025)


JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2015
ILMU RIJALUL HADITS

A.    PENDAHULUAN
Ulumul hadits adalah sebuah disiplin ilmu yang berhubungan dengan hadits dalam berbagai aspeknya. Pengertian tersebut didasarkan atas banyaknya ragam dan macam ilmu yang bersangkut-paut dengan hadits. Ulama mutaqaddimin merumuskan ilmu hadits secara terminologis dengan ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah, dari segi ikhwal para periwayatnya yang menyangkut kedhabitan dan keadilan serta dari segi bersambung atau terputusnya sanad dan sebagainya. Ilmu hadits yang pokok pembahasannya bertumpu pada sanad dan rawi memiliki beberapa cabang, salah satu diantaranya adalah ilmu rijalul hadits yang akan kami bahas dalam makalah ini.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian ilmu rijalul hadits
Rijalul hadits terdiri dari dua kata, yakni ar-rijal dan al-hadits. Menurut bahasa, rijal artinya kaum pria. Dimaksudkan disini yaitu ilmu yang membicarakan tentang tokoh atau orang yang membawa hadits, semenjak dari nabi sampai dengan periwayat terakhir.[1] Sedangkan secara terminologis, Ulama hadits mendefinisikan ilmu rijalul hadits yaitu:

عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ اْلحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابَةِ وتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَ هُمْ

Artinya: “Ilmu yang membahas para rawi hadits,baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun dari generasi-generasi sesudahnya”.[2]
Ilmu rijalul hadits adalah ilmu yang membahas hal ikhwal kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in, dan tabiu at tabi’in.[3] Menurut Hasbi al-Shiddieqy dalam buku karangan Alfatih Suryadilaga, ilmu rijalul hadits adalah ilmu yang membahas para periwayat hadits baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun angkatan-angkatan sesudahnya yang disebut tabi’ al-tabi’in dalam kapasitas mereka selaku periwayat hadits.[4]

2.      Fungsi dan kegunaan ilmu rijalul hadits
a)      Untuk mengetahui keadaan para perawi hadits yang menjadi sanad, baik dari segi kelahiran, garis keturunan, guru dan murid, sumber hadits ataupun jumlah hadits yang diriwayatkan.[5]
b)      Untuk mengetahui keshahihan mendengar hadits dari gurunya, mengetahui yang tersambung dari yang terputus, dan lain-lain.[6]
c)      Menerangkan hal ikhwal keadaan dan sejarah singkat kehidupan para perawi hadits yang menerima hadits dari Rasulullah yaitu Sahabat, atau para perawi yang menerima hadits dari sahabat, yaitu tabi’in, atau para perawi yang menerima hadits dari tabi’in tabi’it dan seterusnya.[7]



3.      Latar belakang munculnya ilmu rijalul hadits
Banyak ulama hadits yang menyusun kitab-kitab rijal al-hadits dengan bentuk dan metode yang beragam. Untuk memberikan gambaran ringkas mengenai metode penyusunan ini, kami mengacu pada tulisan Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib dengan uraian sebagai berikut.
a.       Mengelompokkan periwayat berdasarkan angkatan tertentu atau thabaqat yaitu menulis dengan sekelompok periwayat hadits yang hidup pada masa tertentu. Kitab tertua menurut metode ini adalah al-Thabaqat al-Kubraoleh Muhammad ibn Sa’ad (165-230 H) sebanyak 14 jilid, diterbitkan di Leiden, 1322 H, begitu pula di Beirut.Selain itu, juga kitab al-Thabaqat al-Ruwat oleh Khalifah ibn Khayyat al-‘Ushfury (240 H).[8]
b.      Ada yang menyusun periwayat berdasarkan tahun, dimana penyusun menyebutkan tahun wafat periwayat, kemudian biografinya dan riwayat yang disampaikannya. Buku seperti ini dapat dilihat pada tulisan al-Zahaby dengan judul Tarikh al-Islam.[9]
c.       Menyusun periwayat secara alfabetis. Metode ini dianggap termudah bagi para penulis lain untuk menggunakannya dalam membahas para periwayat. Buku tertua yang sampai kepada kita yang disusun berdasarkan metode ini ialah al-Tarikh al-Kabir oleh Imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (194-256 H). Buku ini terdiri atas 8 jilid dan berisi 40.000 biografi periwayat laki-laki dan perempuan. Buku terlengkap dalam penyusunan seperti ini ialah Tahzib al-Tahzib oleh al-Hafiz Syihab al-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn Ali (ibn Hajar) al-Asqalani (772-852 H) diterbitkan di India tahun 1325-1327 H, dan terdiri dari 12 jilid.[10]
4.      Sasaran pokok (Ilmu tarikh ar-ruwah dan ilmu al-jarh wa at ta’dil)
a)      Ilmu tarikh ar-ruwah
Dalam ilmu ini diterangkan hal ikhwal para rawi, tanggal lahir dan tanggal  wafatnya, guru-gurunya, orang-orang yang menjadi muridnya, kota dan kampung halaman, perantaraannya, kapan kunjungan-kunjungan yang dilakukan ke negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits dari sebaagian guru yang sebelumnya dan sesudah ia berusia lanjut, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hal masalah perhaditsan.[11]
b)      Ilmu al-jarh wa at-ta’dil
Ilmu ini membahas tentang para perawi hadits dari segi yang menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafazh tertentu.[12] Ilmu jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang rawidijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka priwayatannya harus dittolak. Sebaliknya, bila dipuji maka haditsnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain terpenuhi.
Kecacatan rawi itu ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikategorikan ke dalam lingkup perbuatan: bi’dah, yakni melakukan tindakan tercela atau diluar ketentuan syariah; mukhalafah,  yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadits; jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.[13]
Seorang ulama al-jarh wa al ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya objektif dalam upaya menguak karateristik para periwayat. Syarat-syaratnya adalah:[14]
1.      berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena bila tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa at-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya,
2.      ia mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil,
3.      ia mengetahui penggunaan-penggunaan kalimat bahasa Arab, sehingga suatu lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafazhyang tidak sesuai untuk men-jarh.
Para ulama ahli kritik hadits adakalanya berbeda pendapat. Misalnya, Ahmad bin al-Miqdam bin Sulaiman al-Injil oleh Abu Hatim ar-Razi dan an-Nisa’i dinilai  sebagai periwayat yang tsiqah. Tetapi Abu Dawud berkata tentang dia, “Saya tidak meriwayatkan hadits darinya karena dia terkenal suka berkelakar”. Selain itu, ada kalanya seorang ahli kritik hadits berbeda dalam menilai periwayat tertentu. Misalnya, Yahya ibn Ma’in ketika ditanya tentang kualitas periwayat hadits yang bernama al-A’la bin ‘Abd ar-Rahman, ia menjawab bahwa al-‘Ala itu laisa bihi ba’sun. Akan tetapi, ketika Yahya ditanya nama yang lebih tinggi kualitasnya antara al-‘Ala dan Sa’id al-Muqbiri, ia menjawab bahwa Sa’id lebih tsiqah ketimbang al-A’la, baginya al-‘Ala itu dhaif. Dalam hal ini, Yahya menilai al-‘Ala sebagai periwayat yang dhaif ketika dibandingkan dengan Sa’id al-Muqbiri, sedangkan ketika tidak diperbandingkan, Yahya menilainya sebagai periwayat yang laisa bihi ba’sun.  Padahal kedua lafal itu mempunyai pengertian dan peringkat yang berbeda, lafal dhaif  berada pada peringkat jarh sedangkan lafal laisa bihi ba’sun berada pada peringkat ta’dil.[15]

5.      Cabang-cabang ilmu rijalul hadits
Sebagai sebuah bangunan ilmu, ilmu rijalul hadits mempunyai dua anak cabang yaitu ilmu tarikh ar-ruwah atau ilmu tarikh ar-rijal yang didefinisikan sebagai ilmu yang membahas keadaan para rawi dari segi aktivitas mereka dalam meriwayatkan hadits,  dan ilmu jarh wa al-ta’dil, yakni ilmu yang membahas keadaan para rawi dari segi diterima tidaknya periwayatan mereka.[16] Dengan demikian, ilmu rijalul hadits dalam mengkaji para rawi pada dasarnya memiliki dua bahasan, yang pertama biografi atau sejarah para rawi sebagai cakupan ilmu tarikh ar-ruwah dan yang kedua, sebagai kelanjutan tahapan pertama, yakni mengkaji rawi dari segi justifikasi atau penilaian kualitas rawi.

6.      Ulama yang ahli dibidangnya dan kitab-kitabnya
a.       Kitab Ma’rifat Man Nazala min Ash-Shahabah sa’ira Al-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah Al-Madini (wafat tahun 234 H). Kitab ini tidak sampai kepada kita.
b.      Kitab Tarikh Ash-Shahabah, karya Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (wafat tahun 256 H). Kitab ini juga tidak sampai kepada kita.
c.       Al-Isti’ab fi Ma’rifati Al-Ashhab, karya Abu Umar bin Yuusuf bin Abdillah yang mashur dengan Ibnu Abdil Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). Kitab ini telah dicetak berulang kali, didalamnya terdapat 4225 biografi sahabat pria maupun wanita.
d.      Usudul Ghabah fi ma’rifat Ash-Shahabah, karya ‘Izzuddin Abu Al-Hasan Ali bin Al-Atsir Al-Jazari (wafat tahun 630 H). Kitab ini telah dicetak dan didalamnya terdapat 7554 biografi.
e.       Tajrid Asma’ Ash-Shahabah, karya Al-Hafizh Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). Kitab ini telah dicetak di India.[17]

C.    KESIMPULAN
Ilmu rijalul hadits adalah ilmu yang membahas hal ikhwal kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in, dan tabiu at tabi’in. Ilmu rijalul hadits mempunyai dua anak cabang yaitu ilmu tarikh ar-ruwah atau ilmu tarikh ar-rijal dan ilmu jarh wa al-ta’dil.














DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol
Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Gufron, Mohammad dan Rahmawati. 2013. Ulumul Hadits Praktis dan
Mudah. Yogyakarta: Teras.
Hadi, Saeful. 2008. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Sabda Media.
Nuruddin. 1994.Ulum Al-Hadits. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Solahuddin, Agus dan Agus Suyadi. 2008.Ulumul Hadis. Bandung : Pustaka
Setia.
Suparta, Munzier. 2011.  Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suryadi. 2003. Metodologi Ilmu Rijalil Hadis. Yogyakarta: Madani Pustaka
Hikmah.
Suryadilaga, Alfatih. 2010. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras.
Zuhri, Muhammad. 2011. Hadis Nabi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.


[1]Muhammad Zuhri, Hadis Nabi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011),  hlm. 117.
[2]Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm. 111.
[3]Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 7.
[4]Ibid.,hlm. 310.
[5]Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013),  hlm. 53.
[6]Ibid.
[7]Saeful Hadi, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Sabda Media, 2008), hlm. 14.
[8]Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, hlm. 312-313.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Saeful Hadi, Ulumul Hadits, hlm. 19.
[12]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 32.
[13]Ibid., hlm. 32-33.
[14]Nuruddin, Ulum Al-Hadits, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 79-80.
[15]Ibid., hlm. 171-172.
[16]Suryadi,  Metodologi Ilmu Rijalil Hadis, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003), hlm. 2.
[17]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman,  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 79-80.

About Syed Faizan Ali

Faizan is a 17 year old young guy who is blessed with the art of Blogging,He love to Blog day in and day out,He is a Website Designer and a Certified Graphics Designer.

0 komentar:

Posting Komentar