ILMU RIJALUL HADITS
Makalah Disusun Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: H. Muh.
Aji Nugroho, Lc., M.Pd.I.
Disusun Oleh:
Muhammad
Reza (145131004)
Sintia
Sedep Sayekti (145131018)
Betti
Aprillinasari (145131025)
JURUSAN PERBANKAN
SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN
BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SURAKARTA
2015
ILMU RIJALUL HADITS
A.
PENDAHULUAN
Ulumul
hadits adalah sebuah disiplin ilmu yang
berhubungan dengan hadits dalam
berbagai aspeknya. Pengertian tersebut didasarkan atas banyaknya ragam dan
macam ilmu yang bersangkut-paut dengan hadits.
Ulama mutaqaddimin merumuskan ilmu hadits secara terminologis dengan ilmu
pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah, dari
segi ikhwal para periwayatnya yang
menyangkut kedhabitan dan keadilan serta dari segi bersambung atau terputusnya sanad dan sebagainya. Ilmu hadits yang pokok pembahasannya bertumpu
pada sanad dan rawi memiliki beberapa cabang, salah satu diantaranya adalah ilmu rijalul hadits yang akan kami bahas
dalam makalah ini.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
ilmu rijalul hadits
Rijalul
hadits terdiri dari dua kata, yakni ar-rijal dan al-hadits. Menurut bahasa, rijal
artinya kaum pria. Dimaksudkan disini yaitu ilmu yang membicarakan tentang
tokoh atau orang yang membawa hadits,
semenjak dari nabi sampai dengan periwayat terakhir.[1]
Sedangkan secara terminologis, Ulama hadits
mendefinisikan ilmu rijalul hadits
yaitu:
عِلْمٌ يُبْحَثُ
فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ اْلحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابَةِ وتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَ
هُمْ
Artinya: “Ilmu yang membahas para rawi
hadits,baik dari kalangan sahabat, tabi’in, maupun dari generasi-generasi
sesudahnya”.[2]
Ilmu
rijalul hadits adalah ilmu yang membahas hal ikhwal kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in, dan tabiu at tabi’in.[3]
Menurut Hasbi al-Shiddieqy dalam buku karangan Alfatih Suryadilaga, ilmu rijalul hadits adalah ilmu yang
membahas para periwayat hadits baik
dari kalangan sahabat, tabi’in,
maupun angkatan-angkatan sesudahnya yang disebut tabi’ al-tabi’in dalam kapasitas mereka selaku periwayat hadits.[4]
2. Fungsi
dan kegunaan ilmu rijalul hadits
a) Untuk
mengetahui keadaan para perawi hadits
yang menjadi sanad, baik dari segi
kelahiran, garis keturunan, guru dan murid, sumber hadits ataupun jumlah hadits
yang diriwayatkan.[5]
b) Untuk
mengetahui keshahihan mendengar hadits
dari gurunya, mengetahui yang tersambung dari yang terputus, dan lain-lain.[6]
c) Menerangkan
hal ikhwal keadaan dan sejarah
singkat kehidupan para perawi hadits
yang menerima hadits dari Rasulullah
yaitu Sahabat, atau para perawi yang
menerima hadits dari sahabat, yaitu tabi’in, atau para perawi yang menerima hadits
dari tabi’in tabi’it dan seterusnya.[7]
3. Latar
belakang munculnya ilmu rijalul hadits
Banyak ulama hadits yang menyusun kitab-kitab rijal al-hadits dengan bentuk dan metode yang beragam. Untuk
memberikan gambaran ringkas mengenai metode penyusunan ini, kami mengacu pada tulisan
Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib dengan uraian sebagai berikut.
a. Mengelompokkan
periwayat berdasarkan angkatan tertentu atau thabaqat yaitu menulis dengan sekelompok periwayat hadits yang hidup pada masa tertentu.
Kitab tertua menurut metode ini adalah al-Thabaqat
al-Kubraoleh Muhammad ibn Sa’ad (165-230 H) sebanyak 14 jilid, diterbitkan
di Leiden, 1322 H, begitu pula di Beirut.Selain itu, juga kitab al-Thabaqat al-Ruwat oleh Khalifah ibn
Khayyat al-‘Ushfury (240 H).[8]
b. Ada
yang menyusun periwayat berdasarkan tahun, dimana penyusun menyebutkan tahun
wafat periwayat, kemudian biografinya dan riwayat yang disampaikannya. Buku
seperti ini dapat dilihat pada tulisan al-Zahaby dengan judul Tarikh al-Islam.[9]
c. Menyusun
periwayat secara alfabetis. Metode ini dianggap termudah bagi para penulis lain
untuk menggunakannya dalam membahas para periwayat. Buku tertua yang sampai
kepada kita yang disusun berdasarkan metode ini ialah al-Tarikh al-Kabir oleh Imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari
(194-256 H). Buku ini terdiri atas 8 jilid dan berisi 40.000 biografi periwayat
laki-laki dan perempuan. Buku terlengkap dalam penyusunan seperti ini ialah Tahzib al-Tahzib oleh al-Hafiz Syihab
al-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn Ali (ibn Hajar) al-Asqalani (772-852 H)
diterbitkan di India tahun 1325-1327 H, dan terdiri dari 12 jilid.[10]
4. Sasaran
pokok (Ilmu tarikh ar-ruwah dan ilmu al-jarh wa at ta’dil)
a)
Ilmu
tarikh ar-ruwah
Dalam ilmu ini diterangkan hal ikhwal para rawi, tanggal lahir dan tanggal
wafatnya, guru-gurunya, orang-orang yang menjadi muridnya, kota dan
kampung halaman, perantaraannya, kapan kunjungan-kunjungan yang dilakukan ke
negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits
dari sebaagian guru yang sebelumnya dan sesudah ia berusia lanjut, dan lain
sebagainya yang berhubungan dengan hal masalah perhaditsan.[11]
b) Ilmu al-jarh wa at-ta’dil
Ilmu ini membahas tentang para perawi
hadits dari segi yang menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat
mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafazh
tertentu.[12]
Ilmu jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk
menetapkan apakah periwayatan itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang rawi “dijarh”
oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka priwayatannya harus
dittolak. Sebaliknya, bila dipuji maka haditsnya bisa diterima selama
syarat-syarat yang lain terpenuhi.
Kecacatan rawi itu ditelusuri
melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikategorikan ke dalam
lingkup perbuatan: bi’dah, yakni melakukan tindakan tercela atau diluar
ketentuan syariah; mukhalafah,
yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah;
ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadits;
jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara
jelas dan lengkap; dan da’wat al-inqitha’, yakni diduga
penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.[13]
Seorang
ulama al-jarh wa al ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang
menjadikannya objektif dalam upaya menguak karateristik para periwayat.
Syarat-syaratnya adalah:[14]
1.
berilmu, bertaqwa, wara’,
dan jujur. Karena bila tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia
dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa at-ta’dil yang senantiasa
membutuhkan keadilannya,
2.
ia mengetahui
sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil,
3.
ia mengetahui
penggunaan-penggunaan kalimat bahasa Arab, sehingga suatu lafazh yang
digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafazhyang
tidak sesuai untuk men-jarh.
Para ulama ahli kritik hadits adakalanya berbeda pendapat.
Misalnya, Ahmad bin al-Miqdam bin Sulaiman al-Injil oleh Abu Hatim ar-Razi dan
an-Nisa’i dinilai sebagai periwayat yang
tsiqah. Tetapi Abu Dawud berkata
tentang dia, “Saya tidak meriwayatkan hadits
darinya karena dia terkenal suka berkelakar”. Selain itu, ada kalanya seorang
ahli kritik hadits berbeda dalam
menilai periwayat tertentu. Misalnya, Yahya ibn Ma’in ketika ditanya tentang
kualitas periwayat hadits yang
bernama al-A’la bin ‘Abd ar-Rahman, ia menjawab bahwa al-‘Ala itu laisa bihi ba’sun. Akan tetapi, ketika
Yahya ditanya nama yang lebih tinggi kualitasnya antara al-‘Ala dan Sa’id
al-Muqbiri, ia menjawab bahwa Sa’id lebih tsiqah
ketimbang al-A’la, baginya al-‘Ala itu dhaif.
Dalam hal ini, Yahya menilai al-‘Ala sebagai periwayat yang dhaif ketika dibandingkan dengan Sa’id
al-Muqbiri, sedangkan ketika tidak diperbandingkan, Yahya menilainya sebagai
periwayat yang laisa bihi ba’sun. Padahal kedua lafal itu mempunyai pengertian
dan peringkat yang berbeda, lafal dhaif berada pada peringkat jarh sedangkan lafal laisa
bihi ba’sun berada pada peringkat ta’dil.[15]
5. Cabang-cabang
ilmu rijalul hadits
Sebagai sebuah bangunan ilmu, ilmu rijalul hadits mempunyai dua anak
cabang yaitu ilmu tarikh ar-ruwah atau
ilmu tarikh ar-rijal yang
didefinisikan sebagai ilmu yang membahas keadaan para rawi dari segi aktivitas mereka dalam meriwayatkan hadits, dan ilmu
jarh wa al-ta’dil, yakni ilmu yang membahas keadaan para rawi dari segi diterima tidaknya
periwayatan mereka.[16]
Dengan demikian, ilmu rijalul hadits
dalam mengkaji para rawi pada dasarnya memiliki dua bahasan, yang pertama
biografi atau sejarah para rawi
sebagai cakupan ilmu tarikh ar-ruwah
dan yang kedua, sebagai kelanjutan tahapan pertama, yakni mengkaji rawi dari segi justifikasi atau
penilaian kualitas rawi.
6. Ulama
yang ahli dibidangnya dan kitab-kitabnya
a. Kitab
Ma’rifat Man Nazala min Ash-Shahabah
sa’ira Al-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah Al-Madini (wafat tahun 234
H). Kitab ini tidak sampai kepada kita.
b. Kitab
Tarikh Ash-Shahabah, karya Muhammad
bin Ismail Al-Bukhari (wafat tahun 256 H). Kitab ini juga tidak sampai kepada
kita.
c. Al-Isti’ab fi Ma’rifati
Al-Ashhab, karya Abu Umar bin Yuusuf bin
Abdillah yang mashur dengan Ibnu Abdil Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). Kitab
ini telah dicetak berulang kali, didalamnya terdapat 4225 biografi sahabat pria
maupun wanita.
d. Usudul Ghabah fi
ma’rifat Ash-Shahabah, karya ‘Izzuddin Abu
Al-Hasan Ali bin Al-Atsir Al-Jazari (wafat tahun 630 H). Kitab ini telah
dicetak dan didalamnya terdapat 7554 biografi.
e. Tajrid Asma’
Ash-Shahabah, karya Al-Hafizh Syamsuddin Abi
Abdillah Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). Kitab ini telah dicetak
di India.[17]
C.
KESIMPULAN
Ilmu rijalul hadits
adalah ilmu yang membahas hal ikhwal
kehidupan para rawi dari golongan
sahabat, tabi’in, dan tabiu at tabi’in. Ilmu rijalul hadits mempunyai dua anak cabang yaitu ilmu tarikh ar-ruwah atau ilmu tarikh ar-rijal dan ilmu jarh wa al-ta’dil.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits,
terj. Mifdhol
Abdurrahman.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Gufron,
Mohammad dan Rahmawati. 2013. Ulumul
Hadits Praktis dan
Mudah.
Yogyakarta: Teras.
Hadi,
Saeful. 2008. Ulumul Hadits.
Yogyakarta: Sabda Media.
Nuruddin. 1994.Ulum Al-Hadits. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Solahuddin, Agus dan Agus Suyadi. 2008.Ulumul Hadis. Bandung
: Pustaka
Setia.
Suparta, Munzier. 2011. Ilmu
Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suryadi.
2003. Metodologi Ilmu Rijalil Hadis.
Yogyakarta: Madani Pustaka
Hikmah.
Suryadilaga,
Alfatih. 2010. Ulumul Hadis.
Yogyakarta: Teras.
[1]Muhammad Zuhri, Hadis
Nabi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011), hlm. 117.
[3]Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010),
hlm. 7.
[5]Mohammad Gufron dan
Rahmawati, Ulumul Hadits Praktis dan
Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm.
53.
[7]Saeful Hadi, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Sabda Media,
2008), hlm. 14.
[8]Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, hlm. 312-313.
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Saeful Hadi, Ulumul Hadits, hlm. 19.
[12]Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.
32.
[14]Nuruddin, Ulum Al-Hadits, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994),
hlm. 79-80.
[17]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj.
Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005), hlm. 79-80.
0 komentar:
Posting Komentar