Jumat, 29 Mei 2015


By on 19.38


SALAFIYAH DAN PEMIKIRAN KALAMNYA


Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ilmu Kalam

Pembimbing : Drs. H. Amir Gufron, M.Ag



Disusun oleh :
1.              Arif Setiyawan            ( 141221205 )
2.              Mira Noorchotimah     ( 141221212 )
3.              Fitri Amalia                 ( 141221218 )



BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2015


BAB I
PENDAHULUAN

Mempelajari mata kuliah ilmu kalam merupakan salah satu dari tiga komponen utama rukun iman. Ketiga komponen itu, yaitu nuthqun bi al-lis’ani (mengucapkan dengan lisan), amalun bi al-ark’ani ( melaksanakan sesuai dengan rukun-rukun), dan tashd’iqun bi al-qalbi ( membenarkan dengan hati ). Agar keyakinan itu dapat tumbuh dengan kukuhnya, para ulama dahulu telah melalukan kajian secara mendalam.
Untuk menjadikan ucapan  lisan secara meyakinkan dan kukuh diperlukan ilmunya, yaitu ilmu tauhid, ilmu yang membahas tentang masalah ketuhanan. Pada gilirannya dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial yang berlaku pada saatnya, ilmu tauhid telah berkembang menjadi ilmu kalam. Sementara itu, ilmu yang dapat memperkukuh amalan-amalan iman dinamakan ilmu fiqh. Ilmu fiqh menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan amalan-amalan seorang yang beriman agar keimanannya semakin kuat.
         Diantara amalan itu, yaitu amalan-amalan ibadah  mahdhah, seperti salat, puasa, zakat, dan berhaji ke baitullah. Adapun ilmu yang membahas agar hati seorang mukmin dapat memperoleh keyakinan yang kuat, para ulama masa lalu mengajarkan ilmu tasawuf. Dengan ilmu ini, diharapkan iman seorang mukmin maupun meresap ke dalam hati seseorang mukmin yang terdalam.










BAB II
PEMBAHASAN

W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang  terutama di baghdad pada abad ke-13.[1] Pada masa itu, terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum hanbali. Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah hanbali di jerussalem dan damaskus. Di damaskus kaum hanbali semakin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang di sebabkan serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari harran, yaitu keluarga Ibn Taimiah. Ibn Taimiah ( 1263-1328 M ) adalah seorang ulama besar penganut Imam Hanbali yang ketat.
Berdasarkan uraian Ibrahim Madzkur, karakteristik-karakteristik ulama salaf atau salafiyah dapat dikemukakan sebagai berikut.[2]
1.      Lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2.      Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ad-din), hanya bertolak dari penjelasan-penjelasan Al-kitab dan As-sunnah.
3.      Mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) tidak pula mempunyai paham antropomorfisme.
4.      Memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, tidak berupa untuk menakwilkannya.
Melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur di atas, tokoh-tokoh berikut dapat dikategorikan sebagai ulama salaf. Tokoh yang dimaksud adalah Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin Abd Al-Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), ja’far Ash-Shadiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam hanafi,maliki, syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal). Harun Nasution menganggap bahwa secara kronologis, salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu, ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiah, disuburkan oleh imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara sporadis. Di indonesia, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan-gerakan persatuan islam (persis), bahkan muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga menganggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah di pengaruhi oleh pemikiran yang di kenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Berikut akan di jelaskan beberapa ulama salaf dengan pemikirannya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kalam :

1.      Imam Ahmad bin  Hanbal (780-855 M)
a.       Riwayat hidup singkat Ibn Hanbal
Ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering di panggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena menjadi pendiri mazhab Hanbali. Ibunya bernama shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik binti Sawadah binti Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’b bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi’al-Hadis bin Nizar. Di dalam deluarga Nizar ini tampaknya Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya, Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih berusia muda. Meskipun demikian, ayahnya telah mengawalinya memberikan pendidikan Al-Qur’an. Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, dan Madinah. Di antara guru-gurunya adalah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahin bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-syafi’ie, Abd Razaq bin humam, dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya, Ibn Hanbal mempelajari ilmu Fiqh, Hadits, Tafsir, Kalam, Ushul, dan Bahasa Arab.
Ibn hanbal dikenal sebagai seorang Zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidur hanya sedikit pada malam hari. Ia juga di kenal sebagai seorang dermawan. Pada suatu ketika, Khalifah Makmun Ar-Rashid membagikan beberapa keping emas untuk di berikan kepada para ulama hadits, yang merupakan kebiasaan khalifah pada masa itu. Ibn Hanbal justru menolaknya. Diriwayatkan pula, suatu ketika Syekh Abdul Razak datang untuk menengoknya. Diriwayatkan pula, suatu ketika Syekh Abdul Razak datang untuk menengoknya yang sedang dalam kesulitan keuangan di Yaman. Gurunya itu mengambil segenggam dinar dari kantongnya dan diberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi Ibn Hanbal menagatakan, “Saya tidak membutuhkannya.
Sebagai seorang yang teguh pendirian, ketika Khalifah Al-Makmun mengembangkan Mazhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban “mihnah” karena tidak mengakui bahwa Al-Qur’an itu Makhluk, sehingga ia harus masuk penjara. Nasib serupa di alaminya pada masa pemerintahan para pengganti Al-Makmun, yaitu Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq. Setelah Al-Mutawakil naik tahta, Ibn hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini, ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.

2.      Pemikiran Teologi Ibn Hanbal
a.       Ayat-ayat mutasyabinat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Ibn Hanbal lebih menyukai pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan takwil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabinat. Hal itu terbukti ketika ia di tanya tentang penafsiran ayat:[3]
اَ لرَّ حْمَنُ عَلَى ا لْعَرْ شِ اسْتَوَى
Artinya : “(Yaitu) yang Maha pengasih, yang bersemayam di atas Arsy.”

Dalam hal ini, Hanbal menjawab :
اِ سْتَوَ ى عَلَى اْ لعَرْ شِ كَيْفَ شَا ءَ وَ كَمَا شَا ءَ بِلاَ حَدٍّ وَ لَا ِصفَةٍ يُبَلِّغُهَا وَ ا صِفُ
Artinya : “Istiwa di atas arasy terserah Dia dan bagaimana Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.

Kemudian, ketika ditanya tentang makna hadis nuzul (tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat tuhan di akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab :
نُؤْ مِنُ بِهَا وَ نُصَدِّ قُهَا وَ لاَ كَيْفَ وَ لاَ مَعْنى
Artinya : “kita mengimani dan membenarkan, tanpa mencari penkelasan cara dan maknanya.”

Dari pertanyaan di atas, Ibn Hanbal tampaknya bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menyucikan-Nya dari kesurupan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
b.      Status Al-Qur’an
Salah satu persoalan teologis yang di hadapi Ibn Hanbal yang kemudian membuatnya di penjara beberapa kali adalah tentang status Al-Qur’an, apakah di ciptakan (makhluk) karena hadits (baru) ataukah tidak diciptakan karena qadim. Paham yang diakui oleh pemerintah resmi pada saat itu, yaitu dinasti abbasiah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan Al-Watsiq adalah paham Mu’tazilah, yaitu Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Sebab, paham adanya qadim di samping tuhan, bagi mu’tazilah berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Tampaknya, Ibn Hanbal tidak sependapat dengan paham resmi di atas. Oleh karena itu, ia kemudian di uji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat di lihat dari dialognya dengan ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak.




3.      Riwayat hidup singkat Ibn Taimiah
Nama lengkap Ibn Taimiah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzulqaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslim pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam Ibn Abdillah bin Taimiah, seorang syekh,khatib, dan hakim d kotanya.
Dikatakan oleh ibrahim Madzkur bahwa Ibn Taimiah merupakan seorang tokoh salaf ekstrem karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia murid muttaqi,wara dan zuhud. Ia seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani dengan mengangkat senjata. Ia di kenal sebagai seorang muhaddits, mufasir, faqih, teolog, bahkan banyak mengetahui tentang filsafat. Ia telah mengkritik Khalifah Umar dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al Ghazali Ibn Arabi. Kritikannya di tujukan pula kepada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama pada zamannya. Berulang kali Ibn Taimiah masuk penjara hanya karena bersengketa dengan para ulama pada zamannya.
Ibn Taimiah di kenal dengan kecerdasan sehingga pada usia 17 tahun telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama lawan Ibn Taimiah yang sangat risau oleh serangan-serangannya, serta iri hati terhadap kedudukannya di istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiah sebagai landasan untuk menyerangnya. Di katakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiah sebagai klenik, antropomorfisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiah di panggil ke Kairo. Sesuai keputusan pengadilan kilat, akhirnya ia di penjarakan.
Harus di maklumi bahwa masa hidup Ibn Taimiah bersamaan dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dedadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun setelah baghdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh karena itu, sangat pantas apabila Ibn Taimiah dalam upayanya mempersatukan umat islam mengalami banyak tantangan, bahkan dirinya harus wafat di dalam penjara.[4]

4.      Pemikiran teologi Ibn Taimiah
Pikiran-pikiran Ibn Taimiah, seperti dikatakan Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut :
a.       Berpegang teguh pada nash (teks Al-Qur’an dan Al-Hadits)
b.      Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal
c.       Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
d.      Di dalam islam yang di teladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin dan tabii tabiin)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya
f.       Ibn Taimiah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa apabila kalamullah qadim,kalamnya pasti qadim pula
Ibn Taimiah adalah seorang tekstualis. Oleh karena itu, pandangannya di anggap oleh ulama Mazhab Hanbali, Al-Khatib Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah, yaitu menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiah sebagai salaf perlu di tinjau kembali.
Berikut pandangan-pandangan Ibn Taimiah tentang sifat-sifat Allah.
1.      Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang di maksud adalah:
a.       Sifat salbiah yaitu qidam,baqa, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuuhu bi nafsihi, dan wahdaniyah
b.      Sifat ma’ani yaitu qudrah, iradah, sama, bahsar, hayat, ilmu dan kalam
c.       Sifat khabariah (sifat-sifat yang di terangkan oleh Al-Qur’an dan Hadits meskipun akal bertanya-tanya tentang maknanya) seperti kenangan yang menyatakan bahwa Allah di langit, Allah di atas Arasy, Allah turun ke langit dunia, Allah di lihat oleh orang beriman di surga kelak, wajah , tangan, mata Allah
d.      Sifat dhafiah meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, seperti rabb al-alamin, khaliq al-kaun dan falik al-hubb wa an-nawa
2.      Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama Nya yang Allah atau Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami dan al-bashir
3.      Menerima sepenuhnya sifat-sifat dan nama-nama Allah dengan:
a.       Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak di kehendaki lafaz (min ghair tahrif)
b.      Tidak menghiilangkan pengertian pengertian lafaz (min ghair ta’thil)
c.       Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
d.      Tidak menggambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran, hati, maupun dengan indra ( min ghair takyif at-takyif)
e.       Tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamtsil rabb al-alamin), hal ini di sebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang dapat menyamai Nya bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, Ib Taimiah tidak menyetujui setiap penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat-ayat atau hadits-hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus di terima dan di artikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidan men-tafsim-kan, tidak mnyerupakan-Nya dengan Makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang itu.
Ibn Taimiah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu Allah pencipta segala sesuatu, Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya Allah meridai perbuatan baik dan tidak meridai perbuatan yang buruk.
Dikatakan oleh watt bahwa pemikiran Ibn Taimiah mencapai klimaks-nya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan-nya yang mutlak. Oleh karena itu, masalah Tuhan tidak dapat di peroleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat maupun teologi.
Demikian juga, keinginan manusia untuk menyatu dengan Tuhan sebagai suatu yang mustahil. Oleh karena itu, Ibn Taimiah sangat tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Qur’an berisi dalil khitabi dan iqna’i (penenangan dan pemuas hati) Aliran Mu’tazilah yang selalu mendahulukan dalil rasional daripada dalil Al-Qur’an, sehingga banyak menggunakan takwil, ulama yang memercayai dalil-dalil Al-Qur’an, tetapi hanya di jadikan sebagai pangkal penyelidikan akal, meskipun untuk memperkuat isi Al-Qur’an seperti Al-Maturidi, mereka yang mempercayai dalil-dalil Al-Qur’an, tetapi menggunakan pula dalil-dalil akal di samping Al-Qur’an seperti Al-Asy’ari.
























PENUTUP

A.    Kesimpulan
     Salaf bukanlah suatu “harakah” bukan pula manhaj hizbi (fanatisme golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan taklid,kekerasan, tetapi manhaj salaf adalah ajaran islam sesungguhnya yang di bawa oleh Nabi SAW dan di fahami serta di jalankan oleh para salafush-shalih-radhiyalahu anhum, yang di tokohi oleh para sahabat, kemudian oleh para tabi’in dan selanjutnya tabi’i ta’biin.
     Imam hanbali adalah salah satu tokoh ulama salaf yang mempunyai ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) dari pada pendekatan ta’wil, kemudian beliau menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihad kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.




[1]Abdul Rozaq, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 134.
[2]Ibid., 
[3]Ibid., hlm. 137.
[4]Ibid., hlm. 138.

About Syed Faizan Ali

Faizan is a 17 year old young guy who is blessed with the art of Blogging,He love to Blog day in and day out,He is a Website Designer and a Certified Graphics Designer.

0 komentar:

Posting Komentar